Tuesday, December 29, 2009

Curhat-Curhat Fahd Djibran dan Hal-Hal di Luar Dugaan

"Kita sering lupa bahwa cinta adalah kata lain dari saling mendengarkan. Sebab mendengarkan adalah saling membuka diri: saling memberi dan menerima dengan tulus".

Penggalan kata-kata di atas termaktub dalam tulisan berjudul Memoria (hal. 23) dari kumpulan tulisan Fahd Djibran yang berjudul Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya. Jadi, yang kita perlukan hanya duduk dan mendengarkan untuk menikmati narasi linguistik di dalamnya. Dalam buku yang merupakan kompilasi dari 30 tulisan ini, kita diajak berselancar dalam dunia perenungan. Semacam dialog pribadi dengan diri untuk mendapatkan impresi sebagai kesimpulan akhir yang membawa kita pada ingatan-ingatan kecil akan nilai-nilai kemanusiaan, cinta, kontemplasi akan hidup, Tuhan, dan beberapa renik pemikiran filosofis. Kita seolah digiring untuk mencari pegangan, merefleksikan diri di depan cermin, dan sejenak berintrospeksi. Menata ulang pemikiran-pemikiran yang telah terkonsep rapi dalam sebuah jubah kelaziman demi sebuah tujuan indah berupa pengenalan diri pribadi. Penemuan jati diri. "Mungkin kita tak mengenali diri kita sendiri. Mungkin kita 'kehilangan' diri kita sendiri" (hal. 49).

Membaca buku ini kita seperti dikembalikan ke dunia anak-anak di mana animo untuk bertanya dan mempertanyakan sesuatu yang 'tidak biasa' atau 'tidak lazim' sudah lama kita lupakan karena pengaruh adiktif kedewasaan. 'Orang-orang dewasa tak pernah memahami sesuatu seperti apa adanya dan sungguh melelahkan bagi anak-anak kalau selalu harus memberi penjelasan pada mereka' (hal. 110). Tulisan Antoine de Saint-Exupery dalam bukunya The Little Prince yang dikutip di buku ini mengingatkan betapa menariknya mengalami imajinasi seperti layaknya anak-anak yang begitu manisnya dan (tentu saja) tanpa pretensi apa-apa menanyakan dan mempertanyakan sesuatu, seolah-olah dengan tak puasnya menginginkan jawaban-jawaban atas keresahan-keresahan dalam pikiran yang menggelayutinya tanpa merasa perlu khawatir akan perasaan mengalami kekejaman sebuah 'tanda titik'. Sensasi seperti itulah yang dicobahadirkan oleh Fahd Djibran dalam curhat-curhat singkat sebanyak 172 halaman yang diterbitkan oleh Gagas Media ini.

Konsep bertanya dan mempertanyakan sesuatu dalam Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya (konon) merupakan sekuel dari pendahulunya yaitu A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa. Sebagai sebuah lanjutan, buku ini menghadirkan sesuatu yang 'agak berat' dari pendahulunya. Tulisan-tulisannya lebih rumit, lebih berisi, dan (kadang-kadang) berpotensi membuat pembaca awam bingung dengan konsep pemikiran yang dicobatawarkan. Pemilihan istilah 'dunia antara' mengingatkan kita akan keresahan-keresahan pemikiran kaum urban di kota-kota besar yang mencari alternatif dari dikotomi-dikotomi yang sering melanda kehidupan mereka dan seringkali memberikan efek keterkungkungan sehingga menuntut sebuah kekuatan pembebasan pikiran. Kebebasan berekspresi seluas-luasnya. Buku ini berpotensi untuk membawa pembebasan tersebut sekaligus memberikan 'PR' baru untuk menilai ulang tentang konsep pemikiran yang sudah terstandardisasi di masyarakat.

Blog: Sebuah Proses Kreatif

Beberapa tulisan di buku ini sebelumnya telah hadir di blognya Fahd Djibran sebagai semacam diskusi terbuka di mana pembaca blog diberi kesempatan untuk berpartisipasi dengan mengirimkan curhatnya dalam sebuah surat elektronik. Sebuah cara unik yang kini juga diterapkan oleh koran Kompas dalam menghadirkan rubrik Kompas Kita di mana seorang narasumber memberikan penjelasan akan suatu permasalahan yang ditanyakan.

Menulis merupakan pengalaman personal bagi seseorang. Ia hadir sebagai sebuah panggilan jiwa yang menuntunnya ke dalam kesadaran bahwa tugas tersebut penting untuk dilaksanakan. Panggilan jiwa tersebut akan menemukan jalannya sendiri melalui sebuah proses kreatif yang menuntut untuk terus-menerus diasah. Menurut Pramoedya Ananta Toer, proses kreatif adalah semata-mata bersifat individual yang bisa terjadi hanya setelah terbentuk mistikum sebagai conditio sine qua non. Mistikum, kebebasan pribadi yang padat (condensed), yang melepaskan pribadi dan dunia di luarnya, yang membuat pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan waktu, suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya.

Fahd Djibran tampil dalam khasanah penulisan melalui sebuah proses kreatif di blognya dengan membawa semacam bekal, alasan, dan dorongan yang membuatnya bersemangat untuk terus berproses kreatif. Hal ini juga dibagikan dengan sidang pembaca melalui tulisannya yang berjudul Alasan (hal. 13) dan Dendam Sejarah (hal. 31). Menulis bisa berangkat dari mana saja, bermisi apa saja, dan ingin atau bertujuan ke mana saja. Kevariatifan dari alasan seseorang untuk menulis itulah yang unik dan membuatnya menjadi semacam pengalaman personal yang layak untuk direnungkan.

Karena berangkat dari tulisan-tulisan di blog, kumpulan tulisan ini lebih siap dari segi kemasan. Dalam artian, kesalahan akan tanda baca, ejaan, salah ketik, dan salah cetak dapat diminimalisai karena telah mengalami banyak sekali proses editing dalam perjalanannya dicetak menjadi sebuah buku. Kelemahan tulisan yang dibukukan dari blog salah satunya adalah adanya kebosanan atau perasaan 'tidak seperti sensasi yang didapat saat membacanya pertama kali'. Untuk menghindari hal itu, Fahd sengaja membuat editan dan penambahan tulisan baru yang sebelumnya tidak tampil di blog sehingga secara keseluruhan setelah dicetak menjadi sebuah buku akan kelihatan seolah-olah baru.

Perlu dicatat bahwa buku ini juga mempunyai soundtrack. Sebuah lagu berjudul Curhat Setan yang dibawakan oleh BFDF hadir melengkapi narasi-narasi dalam buku ini. Dalam dunia penerbitan di Indonesia, konsep produk yang menggabungkan antara buku dan musik sudah bukan hal yang baru lagi. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh penulis Andrei Aksana (Lelaki Terindah, Cinta Penuh Air Mata, dll) dan Dewi 'Dee' Lestari (Rectoverso). Gabungan dari keduanya merupakan sebuah paduan yang menyatu. Buku dan musik. Dualisme yang satu. Konsep yang juga mengarah kepada refleksi diri bahwa dalam tubuh manusia selalu ada dua jiwa yang tumbuh bersemayam yaitu jiwa malaikat dan jiwa setan. Saat jiwa setan berontak dan mempertanyakan kenyamanan jiwa malaikat, tak ada salahnya untuk menikmati narasi dalam Curhat Setan yang ini. Anda akan sejenak bertanya-tanya sekaligus tersentak untuk mengangguk-angguk atau menggeleng-geleng menikmati sensasi kalimat-kalimatnya.

Seperti penjelasan penyair dan penulis Agus Noor tentang fiksi mini, kumpulan tulisan ini hadir serupa narasi-narasi yang menjelma sebagai seseorang yang tiba-tiba datang dan mengucapkan beberapa patah kata atau beberapa kalimat yang membuat kita terperangah. Dan orang itu mendadak sudah menghilang begitu saja. Meninggalkan kita yang hanya terbelalak, digoda sejuta tanya, dan terus-menerus memikirkan apa yang tadi barusan dikatakan orang itu. Begitulah efek saat menikmati Curhat Setan. Ia seperti satu tamparan yang membuat kita kaget terbelalak.

Gambar dipinjam dari sini.

2 comments:

  1. Ungkapan2 sampean ttg menulis itu menambah wawasan saya. Thanks.

    ReplyDelete
  2. @ Puguh Utomo : halo Puguh, thanks untuk atensinya selama ini. Keep writing ya ;=)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...