Tuesday, December 23, 2008

Tamasya Kata dalam Serangkaian Tanda Tanya

"Hidup yang tidak pernah dipertanyakan, sesungguhnya adalah hidup yang tak pernah layak untuk diteruskan."

Petikan dari ungkapan Socrates di atas menjadi titik berat pembacaan saya ketika membaca buku A Cat in My Eyes: Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa karya Fahd Djibran. Dari total 160 halaman yang berisi 27 tulisan berupa sketsa, prosa, dan cerita, kita akan diajak untuk melakukan dialog dengan diri pribadi mengenai konsep-konsep yang terkadang dianggap remeh dan sepele menjadi sesuatu yang layak untuk didalami maknanya. Apa itu hidup? Apa itu cinta? Apa itu Tuhan?

Dengan sejumlah metafor dan narasi linguistik yang memikat, buku ini menggiring kita untuk mempertanyakan konseptualisasi yang telah terpatri dalam persepsi diri kita atau menjadikan semacam pencerahan atas pemikiran kita untuk mencari kedalaman makna dalam hidup. Makna serupa pintu keluar yang selalu kita cari ketika kita tersesat dalam sebuah labirin ketidakpastian. Alinea ini terdapat pada tulisannya yang berjudul Labirin. Pencarian makna atas hakikat hidup, romantisme cinta, dan hubungan dengan Sang Khalik itulah yang berusaha dijelaskan (atau mungkin dipertanyakan) kepada sidang pembaca.

Menulis tentang hal-hal yang mengusik pemikiran dibutuhkan semacam intuisi dalam berkreativitas. Dan intuisi adalah bakat. Pendidikan atau latihan hanya bersifat menambah ketajaman intuisi. Seperti dikatakan oleh Budi Darma, Guru Besar Sastra Universitas Negeri Surabaya, kekuatan intuitif pada hakikatnya adalah transendental yaitu kekuatan common sense atau akal sehat tanpa penggunaan seperangkat teori dalam pengertian yang formal. Saya kira Fahd memiliki intuisi semacam itu dalam mencipta karya.

Tengok saja tulisannya yang berjudul Tubuh. Dalam tulisan tersebut kita diajak untuk merekonstruksi persepsi secara umum tentang citra cantik. Hal yang menjadi kian destruktif maknanya akibat simbol-simbol yang dikomersialkan melalui media cetak maupun elektronik dalam wadah seperangkat produk perawatan tubuh.

Dalam Pertem(p)u(r)an dengan Tuhan, dengan metafora yang lincah, Fahd mengajak kita merefleksi keimanan kita akan kehadiran Tuhan dalam elemen kehidupan yang kita jalani. Bahwa sebenarnya konsep tentang 'Tuhan itu dekat' seringkali kita antipati dengan sikap menjauhnya kita dari ajaran yang telah diwahyukan kepada umat manusia. Kita seringkali berusaha untuk menghindar dari konsepsi ritual agamis yang menjadi tangga dekatnya rahmat Tuhan.

Skizofrenia menghentak dengan pemikiran tentang konsep dualisme. Kita serasa dijungkirbalikkan dalam suatu relativitas kebenaran pemikiran atas negasi dari suatu konsep yang kita yakini benar. Di sinilah kita ditantang untuk memilih satu di antara dua. Menetapkan pilihan tertentu dan menolak konsep 'antara'. Dari sini terlihat jelas bahwa relativitas tak akan bisa menjelaskan absolutisme.

Pandangan Fahd tentang toleransi dan pasifisme tampak dalam Keberagam(a)an, yang berusaha memberikan secuil makna bahwa perbedaan merupakan rahmat yang di dalamnya terkandung manifestasi keagungan Tuhan.

Saya kira itu saja tulisan dalam buku ini yang patut mendapat apresiasi dan perhatian lebih, namun bukan berarti tulisan yang lain miskin makna, hanya saja mengusung tema dan konsep serupa.

Dengan kemasan kertas daur ulang dan sampul yang cukup merepresentasikan isi, buku ini mampu menghadirkan serangkaian pertanyaan filosofis yang mampu mengetuk pemikiran pembacanya untuk berefleksi, menghadirkan pertanyaan dalam diri akan keimanan, persepsi hidup dan cinta, serta konsep keseharian dalam memandang suatu hal.

Kalau ada yang kurang dari buku ini adalah kurangnya perhatian yang serius dalam hal editing, baik dalam hal ejaan, ketikan, maupun isi terutama penggunaan tanda baca. Dalam hal isi terdapat sedikit kesalahan yang agak menggangu yaitu tentang penemuan bola lampu oleh Alexander Graham Bell (hal. 156). Bukankah sudah jamak diketahui bahwa Alexander Graham Bell adalah penemu pesawat telepon, sedangkan bola lampu ditemukan oleh Thomas Alpha Edison.

Terlepas dari beberapa hal yang luput dari koreksi editor, setelah Si Parasit Lajang karya Ayu Utami dan Filosopi Kopi milik Dewi 'Dee' Lestari yang juga diterbitkan oleh Gagas Media, buku yang memiliki konsep serupa ini layak untuk diapresiasi, bukan hanya untuk sekadar koleksi.

2 comments:

  1. hai! saya sedang erjalan-jalan, tak sadar malah mampir ke blog Anda. terima kasih telah mereview 'kucing' terbitan kami. we do appreciate it.

    salam,

    ReplyDelete
  2. wow ada orang gagas media nyamperin blog gw, thanks ya mbak windy ;=)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...