Sunday, February 14, 2010

Buku, Pesta, dan Cinta ... bersama Soe Hok Gie, Sekali Lagi


Hari ini di
peringati sebagai Hari Kasih Sayang. Sebagian warga di seluruh penjuru dunia menghikmatinya dengan merayakan hari istimewa ini bersama pasangannya, lengkap dengan kado seikat mawar merah atau sebatang cokelat. Ekspresi kasih sayang dapat berupa apa saja dan dapat ditujukan kepada siapa saja. Termasuk kepada tanah air tercinta.

Menghindari acara hiruk pikuk euforia perayaan Hari Valentine di ibukota Jakarta, saya justru belajar mengenai hangatnya sebuah ekspresi cinta kasih melalui sebuah buku. Memang bukan melulu cinta kasih antar insan yang berusaha ditekankan dalam buku ini, melainkan cinta kasih seorang manusia kepada bangsa dan negara tercinta yaitu Indonesia.

Manusia itu bernama Soe Hok Gie, pemuda keturunan Tionghoa yang lahir pada tanggal 16 Desember 1942 di Jakarta yang kemudian dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa. Ia digambarkan sebagai sosok idealis dan berani menentang segala ketidakbenaran, kesewenang-wenangan sikap penguasa dan menyerukan tentang nilai luhur sebuah penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan indahnya kejujuran.

Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, bekerjasama dengan Universitas Indonesia, ILUNI Universitas Indonesia, dan Kompas, serta mendapat dukungan dari berbagai pihak ini, bertujuan untuk menghadirkan kembali sosok Gie yang pernah ada di era tahun 1960-an yang berani melawan tindakan yang dianggap menyengsarakan rakyat, buah dari tingkah polah pemerintah. Keinginan untuk menghadirkan lagi sosok Gie tersebut dilandasi pemikiran bahwa kondisi sosial politik pada saat ini tidak jauh berbeda dengan keadaan di tahun 1960-an. Banyak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat, aparat penegak hukum yang mempermalukan kredibilitasnya, anggota parlemen yang sibuk dengan urusan partai dan kepentingan pribadinya, lupa bahwa mereka duduk di sana dititipi suatu amanah untuk menyalurkan aspirasi rakyat.


Kuali Kenangan tentang Soe Hok Gie

Sebagai sebuah cerita kenangan tentang seseorang dan suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau, buku setebal 512 halaman ini dibagi menjadi menjadi lima bagian yang tersusun berdasarkan kedekatan dari kontributor penulis dengan sosok Soe Hok Gie yang menjadi sentral pembahasan baik mengenai kehidupan pribadinya maupun sikap dan pandangannya terhadap suatu permasalahan.

Bagian pertama berisi kenangan Rudy Badil tentang sepak terjangnya bersama teman-teman seperjuangannya yang akan 'keluyuran' menaklukkan gunung Semeru termasuk Soe Hok Gie. Di bagian ini diceritakan tentang lika-liku perjalanan rombongan tersebut mulai dari Jakarta yang naik kereta gerbong barang menuju Surabaya hingga kesulitan-kesulitan yang ditemui saat mendaki Gunung Semeru hingga akhirnya diketahui bahwa Soe Hok Gie dan Idhan Lubis (anggota pendaki yang lain) meninggal di puncak Semeru akibat menghirup gas beracun. Cerita berlanjut tentang proses evakuasi jenasah dari Puncak Semeru yang melibatkan banyak pihak dan mengandung banyak cerita haru dan decak kagum dengan perhatian masyarakat terhadap almarhum Soe Hok Gie.

Bagian kedua berisi tentang Soe Hok Gie dalam kaitannya dengan Gunung Semeru. Di bagian ini diceritakan tentang prosesi pemakaman jenazah Soe Hok Gie setelah berhasil dievakuasi dari Gung Semeru. Selain itu dijelaskan tentang keadaan geografis Gunung Semeru dalam kaitannya untuk menggali ingatan-ingatan tentang Soe Hok Gie saat napak tilas lagi rute pendakian.

Bagian ketiga agak lebih menarik. Di sini banyak kejutan-kejutan yang akhirnya membuka tabir tokoh-tokoh yang namanya disamarkan karena alasan privasi dalam buku Catatan Seorang Demonstran (CSD)-nya daniel Dhakidae. Sebut saja Nurmala Kartini Pandjaitanatau lebih dikenal dengan Kartini Sjahrir dan panggilan akrab Ker. Namanya disamrkan menjadi Sunarti. Di buku ini beliau ingin semuanya menjadi jelas, termasuk kedekatannya dengan Gie. "Siapa yang ganti nama gue jadi Sunarti di buku itu? Gue pernah berteman dengan Gie sejak 1968, karena kita kan pernah jadi mahasiswa Gie tahun 1969" (hal. 147).
Selain hobi membaca buku, Gie juga menyukai film. Selain rajin memutar film di kampusnya, Fakultas Sastra UI Rawamangun (sekarang Universitas Negeri Jakarta). Gie juga sering ke bioskop atau menyatroni kedutaan-kedutaan asing seperti kedutaan Ceko, Rumania, dan Perancis untuk menonton film. (hal. 173).

Bagian keempat berisi tulisan dari 'the angry young man', orang-orang yang tidak secara langsung mengenal Soe Hok Gie karena hidup dalam masa yang berbeda, namun mengagumi kisah hidup dan terinspirasi oleh buah pemikirannya sehingga dapat menggerakkan mereka untuk bertindak dan mengambil peran dalam masyarakat. Yang masuk kategori kontributor penulis ini antara lain ada Riri Riza, sutradara yang pernah mengangkat kisah hidup Soe Hok Gie je layar lebar (hal. 267). Aktor Nicholas Saputra juga turut menyumbangkan tulisan. Tulisannya di sini patut diperhitungkan baik dari segi maupun diksi yang dipilihnya (hal. 277). Selain itu ada Mira Lesmana (hal. 283), N. Riantiarno (hal. 289), dan lain-lain yang isinya antara lain tentang pandangan betapa buah pikiran Soe Hok Gie mampu memberikan inspirasi untuk bergerak menentang segala ketidakadilan.

Bagian kelima adalah tulisan-tulisan Soe Hok Gie yang pernah dimuat di surat kabar era 1960-an. Tulisan-tulisan ini walaupun isinya masih relevan dengan keadaan sekarang, namun sudah tidak terlalu 'berbahaya' saat dipublikasikan sekarang. Namun, ketika kita bicara pada konteks di zaman tulisan tersebut dipublikasikan di media masa, kita akan paham betapa beraninya dan betapa 'gila'-nya Soe Hok Gie dalam menentang segala bentuk ketidakadilan yang melecehkan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Soe Hok Gie ... (bukan) Dewa.

Dalam buku ini Soe Hok Gie menjadi tokoh sentral dalam pembahasannya. Ia dikenang sebagai pribadi yang idealis dan berani menentang ketidakadilan. Dan sepertinya, hal itu telah menjadi pilihan dalam hidupnya. "Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan harus menjadi idealis sampai batas sejauh-jauhnya. Kadang, saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah ..." (hal. xiii).

Pilihan untuk menjadi idealis tak jarang mendorongnya untuk melakukan penentangan. Hal-hal yang berlaku tidak wajar dan mengandung sesuatu yang menyalahi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran menjadi sasaran empuknya untuk melakukan aksi protes. Dan sepertinya sikap seperti ini sudah mulai sejak kecil. Soe Hok Gie pernah memprotes gurunya karena suatu materi yang diajarkan menurutnya tidak benar. Karena didebat, guru tersebut naik pitam dengan buntut diturunkannya nilai Soe Hok Gie dalam mata pelajaran tersebut. Dalam catatan hariannya, Soe Hok Gie menulis: "Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau." (hal. 99).

Sama seperti pendapatnya bahwa guru bukan dewa, Soe Hok Gie pun juga bukan manusia sempurna. Segala bentuk diskripsi dalam buku ini yang mengatakan bahwa Soe Hok Gie merupakan pemuda yang luar biasa, luar biasa dalam segala hal, cerdas, brilian, jujur dan terbuka, seorang idealis murni dengan perasaan keadilan yang tajam, bukan bermaksud untuk mengkultusindividukan, tidak juga memaksakan, melainkan menawarkan nilai-nilai keteladanan, terutama integritas dan kebersihan hati.

Sisi lain Soe Hok Gie selain menyukai buku, debat serius tentang politik, adalah betah nongkrong di asrama mahasiswa, 'ngomong jorok', dan nonton blue film yang tak berjudul (hal. 301). Itu sangat manusiawi. Dalam ketegasan dan kekonsistenannya, Soe Hok Gie juga menyimpan kegalauan dalam hati akibat protes-protes yang dilakukannya dan penentangan orang lain terhadap protes itu. Orang jadi menganggapnya 'lain'. Namun, Soe Hok Gie tetap jalan terus, menuntun keidealisannya sampai sejauh-jauhnya.
"Saya berpikir-pikir, mengapa saya harus selalu menjadi orang baik. Sometimes I just want to be myself. Saya tak mau peduli dengan basa-basi. Saya pikir sekali-kali, orang juga harus mengerti perasaan saya. Mengapa harus selalu saya?" (hal. 182).

Kegalauan-kegalauan seperti itu kadang kala membuatnya agak berpikir kembali dengan kritik-kritik yang dilakukannya. Ia merasa kritik-kritiknya tidak mengubah keadaan dan malah membuatnya banyak musuh. Dalam suatu catatan hariannya, kadang-kadang ia merasa kesepian. Kegalauannya ini mendapat reaksi positif dari teman Amerikanya yang mengatakan bahwa "Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. Selalu. Mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tetapi, sesudah kekuasaan baru ii berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan." (CSD hal. 2-3).

Mungkin, surat dari teman Amerikanya inilah yang kemudian memantabkan hatinya sehingga pendiriannya menjadi teguh untuk memegang prinsip 'lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan'. Prinsip yang selalu ia pegang hingga raga di kandung tanah. Tanah yang diperjuangkan dan dicintainya. Indonesia. Selamanya. Sekalipun banyak orang mengata-ngatainya China.

Gambar dipinjam dari sini dan sono.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...