Pilihan buku menunjukkan orang seperti apa orang itu? Waktu surfing di internet untuk blog walking, saya membaca postingan dari sebuah blog yang mengatakan bahwa buku yang menjadi pilihan kita menunjukkan karakter seperti apa kita. Karakter yang di maksud di sini adalah tingkat intelegensia. Jadi, jika orang senang membaca buku-buku semacam teenlit akan dianggap memiliki pola pikir yang kurang deep. Jika orang yang setiap hari kerjaannya menenteng buku-buku tebal semacam Intermediate Accounting atau Statistics for Bussines akan otomatis dianggap sebagai orang yang intelek.
Mungkin ada benarnya juga pendapat seperti itu. Tapi tidak 100% benar. Saya berpendapat bahwa pemikiran seseorang itu dipengaruhi oleh seberapa variatifnya sumber bacaan yang telah dilahapnya dan seberapa kreatifnya dia memanfaatkan sumber-sumber tadi untuk mendukung pendapat yang dikemukakan ketika sedang berbicara. Bobot pembicaraan, pembawaan diri, dan sikap atau olah tubuh seseorang saat berbicara itulah yang menentukan seperti apa pola pikir dari yang bersangkutan.
Misalnya begini, jika ada orang yang suka membaca buku-buku ringan semacam teenlit, namun mereka senang membaca buku-buku semacam itu hanya digunakan sebagai selingan untuk mengalihkan kejenuhan akibat interaksi yang sangat intens dengan ilmu-ilmu eksakta atau perhitungan ekomonometrika yang rumit. Di satu sisi, karena perhitungan ekonomi atau ilmu-ilmu eksak tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya, maka tidak berarti kalau dirinya menyukai buku-buku seri Mec Cabot yaitu Princess Diary, lantas dengan mudahnya kita menjastifikasi kalau yang bersangkutan berpikiran yang low. Saya pikir, jika ada korelasinya mungkin sangat kecil.
Pilihan-pilihan dalam hidup kita, termasuk pilihan terhadap buku memang berpotensi untuk membentuk pola pikir seperti apa kita sebenarnya. Namun, jika orang tersebut tidak pandai untuk memanfaatkan atau menggunakan 'sesuatu' dari buku-buku yang dibacanya, saya kira hal yang sama akan terjadi pula pada orang yang tidak membaca buku tersebut sama sekali. Zero point. Jadi, pola pikir seseorang selain ditentukan dari variatifnya buku yang dibacanya (bukan dipilihnya, memilih tanpa membacanya hanya akan membuat seseorang 'terlihat seperti', bukan 'menjadi', dua hal yang jelas sangat berbeda), juga ditentukan oleh kekreatifan orang tersebut untuk mengaplikasikannya dalam berbagai kesempatan.
Seorang politikus misalnya, lebih banyak membaca majalah atau surat kabar yang memberikan bocoran isu politik yang lagi menghangat, bukan berarti jika dia suka membaca buku-buku Harry Potter, tidak berarti dia tidak intelek. Kebetulan saya kenal dengan seorang politikus yang sekarang duduk sebagai anggota Dewan di Senayan. Dia suka sekali dengan serial Harry Potter. Namun, jurnal-jurnal ilmiah pun juga tak ketinggalan dilahapnya. Alhasil, jika berbicara atau sekadar menulis suatu opini di media (atau bahkan di blognya), akan terlihat kapasitansi dari orang tersebut. Orang bisa berpikir bahwa apa yang dikatakannya akan mempunyai dasar yang kuat baik secara teori maupun kenyataannya di lapangan. Jadi, komentar yang keluar darinya pun akan terlihat terlihat tertata, kedengaran intelek, dan dalam. Tidak seperti 'tokoh-tokoh' yang sering kita lihat di acara sidang kasus Century.
Saya jadi ingat dengan kutipan ini, two roads diverged in the woods, and I took the one less traveled by. And that has made all the difference. Pilihan-pilihan kita akan selalu membedakan seperti apa kita sebenarnya. Tak masalah bahwa bahan bacaan yang Anda pilih itu merupakan bacaan ringan. Tapi jika Anda mampu mengolah bahan bacaan yang Anda nikmati tadi sesuai dengan bidang yang menjadi konsentrasi Anda, maka Anda pun layak disebut sebagai seorang intelektual ... di bidangnya (tentu saja).
Justifikasi bahwa orang yang suka buku-buku ringan merupakan orang yang tidak intelek sungguh tidak seimbang cara penilaiannya. Jadi begini, penilaian hanya pas dilakukan pada bidang yang digeluti dari si pemilih buku tadi. Misalnya begini, jika orang suka sekali membaca buku tentang gambar atau lukisan. Namun, ketika ditanya tentang Raden Saleh atau Affandi saja tidak mengenalnya, apakah itu bisa disebut intelek. Silakan Anda simpulkan. Jika ada orang yang suka membaca buku-buku tentang ekonomi, ketika ditanya tentang analisis perekonomian suatu negara, dengan gamblangnya ia menjelaskan, ya memang sudah seharusnya seperti itu. Akan terlihat aneh jika, seseorang (seperti yang saya jelaskan di atas) kelihatan seperti mempelajari atau menyukai ilmu ekonomi namun ketika dimintai pendapat yang paling sederhana mengenai apa itu makroekonomi tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan, orang seperti itulah bisa dikatakan tidak intelek.
Sangat berbeda jika orang yang suka membaca ilmu-ilmu kedokteran, lalu dimintai pendapat tentang laju inflasi dalam hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, akan dijawab dengan 'ngaco', akan sangat kurang tepat jika menganggap orang tersebut tidak intelek. Jadi, tingkat intelektualitas jika dikaitkan dengan jenis buku yang dipilih, haruslah diseimbangkan dengan kecenderungan dari bidang yang dipilih oleh orang yang bersangkutan.
Tidak setiap orang mampu menguasi semua ilmu yang ada di muka bumi ini. Sama halnya dengan tidak ada seorang pun yang tahu segalanya. Menilai seseorang secara tidak proporsional sungguh sangat tidak menyenangkan buat saya pribadi. Apalagi dengan dasar yang lemah. Lebih baik mengamati perlahan-lahan, bukan menjustifikasi secara spontan tanpa penuh pertimbangan. Selamat tenggelam dengan bacaan yang Anda pilih. Anda semua berpotensi menjadi kaum intelektual. Di bidang yang Anda sukai (tentu saja).
Gambar dipinjam dari sini.
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
No comments:
Post a Comment