Hari ini umat Kristiani di seluruh dunia merayakan hari raya Natal. Saya seorang muslim. Entah dorongan apa yang membuat saya tergerak untuk menulis catatan ini. Saya menghormati dan menghargai kebebasan beragama. Saya perhatikan, setiap hari Natal tiba, seluruh gereja di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang di kota maupun yang di desa, baik yang ramai jemaatnya maupun yang sedikit, dijaga ketat oleh aparat keamanan. Jalan-jalan yang melewati gereja juga dijaga, lengkap dengan beberapa pemeriksaan bagi yang melintas atau bahkan pengalihan jalur lalu lintas.
Memang niatnya baik yaitu untuk menjaga kekhusyukan dalam beribadah. Membuat suasana ibadah menjadi khidmad tanpa ada gangguan. Gangguan. Sepertinya kata ini akrab di telinga kita seiring dengan konflik antaragama yang terjadi di beberapa wilayah tanah air dan beberapa peristiwa teror bom yang sering mewarnai perayaan natal. Yang menjadi permasalahannya adalah mampukah negeri ini menghadirkan momen perayaan natal yang tenang dan penuh kedamaian tanpa ada barikade aparat keamanan? Mampukah negeri ini mengusung kedamaian untuk sejenak berkhidmad dan memberikan keleluasaan saudara kita untuk merayakan Natal? Bukankah esensi dari perayaan natal adalah momen untuk memburu kedamaian?
Damai. Natal dalam damai. Saya pikir semua orang di dunia, semua umat dari semua agama ( atau umat tidak beragama) merindukan dan memburu kedamaian dalam hidupnya. Momen-momen damai menggiring seseorang untuk berpikir lebih jernih, mencerna lebih dalam, dan memaknai sesuatu mendekati kebenaran hakiki. Orang yang tenang pikirannya akan lebih mudah berpikir dan mencari jalan keluar atas permasalahan-permasalahan yang menggelayuti hidup. Hanya orang-orang yang tidak damai hatinya yang tidak pernah benar-benar mampu untuk menikmati hidup yang dititipkan kepadanya.
Perang, konflik, dan segala bentuk perpecahan yang terjadi di belahan bumi merupakan bentuk dari ketidakdamaian sebagian umat dalam memaknai kehidupan. Segala bentuk perdamaian berbenih dari perasaan tenang, hati yang ikhlas, dan pikiran yang teratur. Semua manusia mempunyai potensi untuk berpikir kalut, berpendirian tenang, maupun bermalas logika. Ibaratnya sebuah garis bilangan yang terdiri atas bilangan negatif, nol, bilangan positif. Kemalasan logika terletak dalam sumbu negatif, kedamaian hati dan pikiran ada di titik nol, dan kekalutan pikiran adalah sumbu positif. Pikiran dan hati seseorang bergerak secara fluktuatif mengikuti suasana menyesuaikan diri mengikuti gerak sumbu tersebut. Ada kalanya berada di sumbu positif, tak jarang di sumbu negatif, dan bisa jadi di titik nol. Membuat suasana hati dan pikiran untuk sedikit lebih lama berada di titik nol merupakan tujuan yang wajib direfleksikan dalam kehidupan jika menginginkan momen damai dalam hidup. Hal ini mungkin terjadi jika konsepsi serupa diadopsi oleh banyak orang dalam aktivitas hidupnya.
Momen damai dalam kehidupan tidak hadir melalui sebuah perundingan atau penandatanganan kesepakatan. Damai dalam hidup tidak membutuhkan pahlawan yang menggondol prasasti nobel. Menghadirkan momen damai juga tidak membutuhkan sebuah pelucutan senjata. Momen damai hadir dalam diri setiap manusia yang mampu membawa hatinya bertamasya ke alam titik nol. Momen damai menggiring setiap pribadi untuk mengalami apa yang disebut sebagai kebahagiaan hakiki. Kebahagiaan sejati. Hidup yang berjalan saat harmoni antara alam jiwa, alam pikiran, alam jasmani, dan alam semesta bersinergi tanpa suatu tendensi untuk saling menguasai, saling melebihi, berlaku superior dari yang lain, memaksakan kehendak mayoritas, berlaku adikuasa, dan menyulut peperangan. Momen damai hadir saat pribadi sembuh dari segala penyakit hati.
Segala bentuk konflik, perang, perpecahan, pertengkaran, dan perkelahian adalah wujud nyata betapa dunia ini diisi oleh orang-orang yang tidak damai. Jika hari ini gereja ramai dikunjungi, siangnya masjid sesak oleh orang ibadah sholat jumat, dan tempat ibadah lainnya seperti vihara, pura, dan klenteng laris dikunjungi jemaat, apakah mereka-mereka mencari di tempat yang salah jika sekembalinya dari rumah ibadah, pribadinya tidak menyisakan paradigma baru akan jiwa yang bersih, damai, dan merindukan keindahan bertoleransi? Saya kira bukan sesederhana itu disimpulkan demikian. Setiap orang yang berkunjung ke rumah ibadah membawa niat dan tujuan yang berbeda. Jadi yang perlu diselaraskan adalah ikhlas dalam niat. Persepsi akan niat yang baik untuk mendamaikan hati dan pikiran melalui tangan Tuhan ini perlu diterapkan pada semua batok pemikiran di kepala masing-masing umat. Perlu pula dibenamkan persepsi untuk qonaah, menerima sesuatu sesuai dengan prosedur dan proporsinya.
Berlaku ikhlas menerima segala saat berinteraksi terhadap sesama manusia seolah-olah sedang bercengkerama dengan Tuhan merupakan sumber potensi pembentuk perdamaian dan ketenangan hidup. Semua bermula dari pembangunan pondasi kualitas hati. Saya jadi ingat perkataan guru agama saya bahwa ada segumpal daging, di mana jika daging itu bagus maka bagus semua seluruhnya, jika daging itu jelek, maka rusaklah semuanya. Itulah hati. Hati menjadi penuntun utama akan kinerja akal pribadi manusia. Kekuasaan nafsu akan sirna jika hati hadir sebagai segumpal pendirian yang kokoh memelihara nilai-nilai nurani.
Tidakkah kita semua merindukan momen-momen damai ini. Di mana tak akan kita dengar jerit tangis kelaparan, tak kita dengar nyanyian peluru meriam, tak kita saksikan kerusakan gedung dan sekolahan. Tidakkah kita mengharapkan suasana suka cita dan gegap gempita sebuah kehidupan baru yang tenang dan bebas dari ancaman dan kemampuan untuk mengancam. Bukankah hakikat natal adalah merayakan kehidupan baru, menyemarakkan dunia damai, dan mengamini sebuah ketenangan hidup. Tidak ada salahnya prinsip 'kasih' diadopsi oleh umat agama lain. Selalu terdapat nilai-nilai universal dalam setiap not-not keindahan dan kedamaian hidup. Tinggal kita saja yang memilih nadanya dan menempatkannya di tempat yang tepat. Membawa diri menerapkan dan menjaga keseimbangan hati sedikit lebih lama di titik nol merupakan tugas berat bagi siapa saja yang merindukan dan ingin menciptakan perdamaian. Sudah saatnya negeri ini mampu untuk menghadirkan momen perayaan hari raya tanpa dihiasi suatu ornamen senapan.
Gambar dipinjam dari sini.
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
No comments:
Post a Comment