Tuesday, November 10, 2009

Antara Hero dan Superhero

10 November 1945 - 10 November 2009
Hari ini bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hari ini bangsa Indonesia (merasa) bangga akan jasa-jasa para pahlawannya. Hari ini bangsa Indonesia merayakan bahwa dirinya pernah punya pahlawan. Hari ini bangsa Indonesia (sangat) membutuhkan (jiwa) pahlawan.

Perayaan dan upacara adalah satu kegiatan yang sering dilakukan saat peringatan akan suatu hari istimewa. Hari ini adalah Hari Pahlawan. Dalam satu hari, suasana haru seakan melebur dengan rasa cinta tanah air yang (sesaat) membuncah gara-gara terbawa suasana. Kalau dipikir-pikir, perlukah sebenarnya memperingati Hari Pahlawan? Apakah para pahlawan itu, yang telah berkorban jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia menginginkan dirinya dikenang dan dirayakan? Tidakkah lebih penting bahwa peringatan Hari Pahlawan itu berlangsung dalam bentuk tindakan praktis dengan memberikan pembuktian bahwa tak diperlukan gegap gempita sebuah perayaan namun cukup dengan bahu-membahu melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lakukan sesuai dengan zaman ini.

Kalau Anda ditanya, apa sebenarnya pahlawan itu? Siapa yang berhak menyandang gelar pahlawan? Pentingkah sebenarnya menyandang gelar pahlawan? Bagi saya pribadi kata pahlawan hanyalah sebuah label sematan. Cap yang diberikan oleh orang atau kelompok orang bahwa yang bersangkutan telah berjasa.
Namanya juga label, bukan tidak mungkin terjadi salah dalam memberikannya, kurang tepat dalam penyematannya, dan ada kemungkinan kurang pas saat label itu dicapkan pada orang yang bersangkutan. Banyak sekali orang yang menginginkan dirinya untuk disebut sebagai seorang pahlawan. Dan anehnya, ada beberapa orang yang sangat senang dan nyaman, seperti ada kesan menikmati, disebut sebagai pahlawan. Padahal beban berat ada di pundak orang-orang yang secara sadar menginginkan label pahlawan tersemat di namanya.

Hari pahlawan yang setiap tahun diperingati oleh bangsa Indonesia terkesan hanya seremonial saja. Sepertinya semakin ke sini, semakin terasa kalau Indonesia miskin pahlawan. Yang terjadi pada tanggal 10 November setiap tahunnya adalah upacara, pengumandangan lagu-lagu kebangsaan dan kepahlawanan, orasi tentang kebesaran jiwa pahlawan, dan tentu saja himbauan untuk meneladani jiwa kepahlawanan tanpa diikuti oleh tindakan nyata yang menyertainya dalam konteks kehidupan sehari-hari di masyarakat. Hasilnya, pulang upacara hanya capek kepanasan saja yang didapat. Tak ada yang benar-benar membekas untuk secara sadar ingin, mau, mampu, dan secara ikhlas berani menjadi dan menerima konsekuensi sebagai manusia yang berjiwa pahlawan.

Hero dan Superhero

Sesuatu yang seolah sama tapi kalau kita tinjau ulang kedua istilah tersebut sangat berbeda maknanya. Walaupun kalau kita merujuk pada artian harfiah, keduanya akan sama-sama dipahami sebagai pahlawan.

Hero adalah pahlawan. Ia melakukan tindakan nyata dan tindakannya itu bermanfaat bagi orang banyak. Artinya pengorbanan seorang hero akan dilihat oleh khalayak. Hasil jerih payahnya juga akan mendapat apresiasi dari orang-orang yang menyaksikan keheroikan dari kinerja si hero. Selalu akan ada orang-orang yang setia memberikan bantuan dan dukungan di balik punggung sang hero. Karena banyaknya hal yang dapat mengantarkan seseorang untuk menjadi hero, banyak pula bermunculan hero-hero palsu. Atau hero gadungan, orang yang kehero-heroan, dan bahkan mengherokan diri. Memang disadari bahwa hero mempunyai suatu jasa yang patut diapresiasi dan diberi penghargaan yang setimpal atas pengabdian yang diberikan. Dan jasa itu memang nyata. Artinya, khalayak dapat melihat, mendengar, dan merasakan dengan jelas atas keheroan dari seorang hero. Mungkin hampir semua dari kita pernah berperan sebagai hero ini di dalam kehidupan yang kita jalani.

Lain hero, lain pula superhero. Superhero memang pahlawan. Tapi tidak semua hero layak disebut superhero. Ada tuntutan yang mungkin sulit untuk dilepaskan oleh hero-hero di dunia ini untuk layak disebut superhero. Sama seperti hero, superhero juga melakukan tindakan nyata dan tindakannya juga bermanfaat bagi orang banyak. Tapi tidak setiap tindakan superhero mendapat apresiasi dari masyarakat. Bahkan tidak menutup kemungkinan sang superhero mendapat cacian karena tingkah polahnya dianggap berseberangan dengan kehendak suatu kelompok yang lebih mayor. Seorang superhero mau dan mampu melepaskan identitas keheroannya. Ia hanya ingin melihat orang lain menikmati hasil dari sikap heronya tanpa merasa perlu untuk mendeklarasikan siapa sebenarnya dirinya. Dan tentu saja, seorang superhero selalu berjalan sendirian. Ia tak merasa perlu untuk mendapat dukungan dahulu dari sebuah komunitas. Yang menjadi motor penggerak keheroannya hanyalah jeritan kebenaran.

Seorang superhero mau dan menerima hakikat kesendiriannya sebagai seorang superhero. Ia pandai memisahkan kehidupan pribadinya sebagai seorang 'ia' sang manusia biasa dengan kehidupan superheronya. Ia tidak hanyut terbawa arus euforia genggap gempita saat khalayak mengelu-elukan prestasinya karena masyarakat tahunya adalah ia sebagai superhero bukan sebagai ia yang manusia biasa. Tidak menutup kemungkinan bahwa saat jubah keheroannya ditanggalkan, ia akan mendapat perlakuan yang sangat tidak berkenan dari masyarakat yang telah dibelanya. Karena seorang superhero sadar satu hal: ia akan selalu berjalan sendirian. Berjuang habis-habisan untuk kemudian ditinggalkan oleh yang dibelanya.

Saya bersimpati dengan tokoh komik superhero Spiderman. Dia adalah satu-satunya superhero yang hidupnya boleh dibilang biasa-biasa saja. Tidak kaya dan tidak memaksakan diri untuk kaya dengan cara yang sangat tidak terhormat. Ia percaya pada kemampuan sendiri. Dalam urusan pekerjaan pun demikian. Ia tidak mau diterima kerja dalam suatu perusahaan hanya karena mempunyai koneksi 'orang dalam' yang bagus. Ia bersyukur atas hidup yang dimiliki dan dijalaninya.

Indonesia yang merindukan superhero

Malam kemarin saya menyempatkan diri mengunjungi studio XXI untuk menonton film District 13 Ultimatum. Film tersebut disutradarai oleh Patrick Alessandrin dan dibintangi oleh David Belle serta Cyril Raffell. Film yang sangat menarik. Saya agak sedikit terkejut karena cerita dalam film tersebut agak-agak serupa dengan apa yang tengah terjadi di bumi pertiwi. Ceritanya tentang konspirasi pembunuhan polisi oleh oknum kepolisian juga yang bertujuan untuk mengadu domba suatu komunitas kulit hitam agar daerah yang ditinggali oleh komunitas tersebut dapat dimodernisasi untuk suatu bangunan yang lebih apik.

Pikiran saya kembali melintas ke beberapa dekade silam saat saya masih duduk di bangku SD. Dulu saya sering sekali nonton film India. Film India yang sarat dengan nyanyian dan tarian itu kebanyakan juga sering menceritakan tentang kinerja aparat kepolisian yang tidak beres. Saya percaya bahwa bahasa film adalah bahasa yang mudah diadopsi oleh masyarakat banyak karena paling tidak gambaran kehidupan yang ditampilkan dalam sebuah film merepresentasikan sebagian kecil dari wajah yang memang terjadi di dunia nyata.

Merangkai tiga film tadi, saya jadi berpikir sejenak, apakah semua polisi itu jelek perilakunya? Apakah semua pegawai peradilan itu berperilaku melenceng dari aturan yang ditetapkan? Saya yakin dalam diri pribadi manusia selalu ada potensi baik dan buruk. Bagian mana yang dominan akan muncul sebagai watak dari seseorang tergantung dari kehendak yang bersangkutan dan juga pengaruh lingkungan. Walaupun saya sering mendapat kesan yang tidak baik akan kinerja kepolisian, saya percaya bahwa tidak semua polisi itu tidak profesional. Mereka berbuat begitu karena tekanan kelompok mayoritas. Dan sebagaimana lazimnya sebuah arus deras, kelompok minoritas hanya punya dua pilihan yaitu ikut arus atau tertindas.

Dan kebanyakan orang akan memilih untuk ikut arus daripada mengedepankan sisi idealismenya. Saya juga yakin hal serupa juga terjadi di hampir semua instansi pemerintahan walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa instansi di bidang hukum dan peradilan menempati urutan paling atas kekurangberesan kinerjanya.

Suatu jaring-jaring kesalahan yang terjadi berlarut-larut, perjanjian konspirasi kejahatan yang dilakukan berjamaah, dan rencana terselubung yang merugikan bangsa dan negara mau tidak mau akan berpotensi menjadi boomerang bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Inilah yang mungkin kurang disadari oleh mereka-mereka yang terlibat dalam suatu tindak pidana korupsi.

Menjadi superhero seperti yang saya deskripsikan di atas memang tidak mudah. Orang kebanyakan sudah tidak kuat ketika mengalami hidup dalam kesusahan. Sifat manusiawi dari manusia saat ini mungkin adalah 'susah melihat orang senang, dan senang melihat orang kesusahan'. Sangat susah sekali ternyata menjadi orang baik di negeri yang katanya ramah ini. Mungkin ungkapan ramah = RAjin menjaMAH tepat dilabelkan bagi manusia Indonesia yang tidak kuat menempa hidupnya menjadi orang yang baik.

Solusi terbaik dari permasalahan yang berlarut-larut dan (sepertinya) berpotensi menjadi permasalahan yang hidup terus-menerus ini adalah perlu adanya suatu langkah tegas dan destruktif terhadap jaring-jaring kejahatan nasional tersebut. Berlomba-lomba untuk menjadikan diri pribadi menjadi orang baik sebaik-baiknya. Dengan mencetak diri pribadi menjadi orang yang baik, jujur, berintegritas tinggi, dan menjunjung tinggi amanah dengan penuh tanggung jawab berarti turut andil dalam memberikan pasokan orang baik di dalam kehidupan. Yang dibutuhkan bagi bangsa sakit ini sekarang adalah memperbanyak jumlah orang baik untuk membentuk jaringan-jaringan yang profesional di bidangnya di masa mendatang. Jika dominasi orang-orang baik dan berintegritas tinggi ada di segala bidang, saya yakin tak ada konspirasi kejahatan yang ujung-ujungnya sangat mencederai kepentingan nasional.

Tidak ada salahnya untuk meneladani langkah-langkah hidup para superhero walaupun itu bukan satu-satunya cara. Akan tetapi bisa dijadikan salah satu alternatif dan juga nasihat bijak bagi orang-orang yang sekarang sedang mengemban tampuk pimpinan dalam instansi negara dan yang mewakili rakyat, bahwa beranilah untuk menjadi pahlawan, tunjukkan bahwa orasi-orasi yang didengungkan saat acara pemilihan umum menjadi dorongan yang kuat untuk mengedepankan potensi sisi baik dalam diri menuju ke arah jiwa hidup seorang superhero: memberikan kebahagian, keamanan, dan kesejahteraan kepada khalayak tanpa merasa perlu untuk mendapatkan apa-apa dari orang-orang yang dibelanya. Karena seorang manusia berjiwa superhero adalah mereka yang selalu setia dan teguh memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Bukan mereka-meraka yang berteriak lantang di garis depan layaknya seorang ksatria seolah-olah menyuarakan keadilan namun berjiwa banci saat mengalami kejahatannya terbongkar.

Percayalah, tak ada ruginya meneladani sifat dan sikap hero ataupun superhero. Menjadi orang baik.

Gambar dipinjam dari sini.

1 comment:

  1. Upacara seremonial itu dapat berfungsi untuk memelihara ingatan sosial atas sesuatu hal, seperti Hari Pahlawan, bahwa kita memiliki sejarah masa lalu. Berbicara ttg masa lalu saya ingat akan artikel dalam kolom opini di Kompas bahwa Bangsa Indonesia itu memiliki masa lalu, tetapi tidak memiliki masa depan. Itu berkebalikan dgn Malaysia. Btw, ttg tekanan dr kelompok mayoritas itu tergolong dalam masalah sosiologis. Itu berkaitan dengan persepsi orang Indonesia dlm bernegara dan berbangsa.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...