Friday, February 27, 2009

Monolog

Pada suatu malam yang sunyi dan penuh keheningan, dunia seolah terasa khidmad menunduk, menghentikan rutinitasnya untuk berotasi. Sesosok tubuh yang tak terlapisi selembar pun benang, duduk dalam posisi lotus. Meditasi. Membuat pikiran seolah-olah kosong. Namun, berisi. Kesan paradoks yang melingkupinya seakan hirau terhadap mereka yang tak mengerti. Karena tujuannya hanya satu: melihat ke dalam diri.

Dalam ke-Diri-annya yang terbangun dengan sedikit sakralitas, lahirlah sebuah jiwa yang seakan terpisah namun melekat. Sebuah dualitas yang esa. Dan di situlah esensi laku ini: mencari kebenaran dalam dialog dengan diri. Jiwa yang melekat dengan tubuh berhadapan dengan jiwa yang terlepas dari tubuh.

Kau siapa?

Aku bagian dari dirimu. Bagian dirimu yang hanya akan kau temui dalam sebuah kesadaran meditatif.

Apa bedanya dengan diriku?

Tak ada, kita diciptakan sebagai sesuatu yang tunggal, yang satu melengkapi yang lain sebagaimana yang lain tak dapat hidup tanpa adanya yang satu.

Mengapa dirimu terpisah?

Hanya persepsimu saja yang mengatakan demikian. Rasionalitas kadangkala sangat menjebak. Ilusi seringkali mengekang sebuah absolutisme. Maka dari itu, mulailah untuk membebaskan pikiranmu.

Sebentar, kamu bilang tadi kau bagian dari diriku, sampai di sini aku masih asing tentang dirimu. Aku merasa kau seperti orang lain, dan penjelasanmu sedikit membuatku pusing.

Hahaha ... memang begitulah yang akan dilakukan setiap orang ketika mereka bertanya pada diri sendiri. Ketercengangan. Bingung. Merasa ruwet. Sungguh hal biasa dan sangat umum. Hal terakhir yang diketahui oleh seorang manusia adalah tentang diri mereka sendiri.

Mengapa? Tolong, jangan membuatku merasa lebih bodoh?

Karena manusia jarang sekali yang melihat ke dalam Diri. Untuk sejenak merenung dan melakukan koreksi atas diri. yang sering kau lakukan adalah mengoreksi orang lain, seakan dirimu adalah sosok sempurna dalam dunia yang penuh ilusi ini.

Jiwa yang melekat pada diri terdiam. Walaupun kesadarannya menerima penjelasan jiwa yang bebas, sejuta pertanyaan masih menggantung di mulutnya.

OK. Sekarang aku akan menanyakan satu hal. Apa yang harus aku lakukan?

Diam. Hening. Mengamati. Mendengarkan. Menilai dalam hati tanpa harus menghakimi. Pernahkah kamu berpikir, mengapa raga yang kau tempati mempunyai sepasang mata dan telinga serta hanya punya satu mulut. Karena hal itu mengisyaratkan bahwa yang perlu kau lakukan dalam hidup adalah banyak melihat dan banyak-banyak mendengarkan. Tak perlulah kau bersuara kalau memang tak benar-benar dibutuhkan.

Mengapa? Bukannya segala sesuatu akan lebih jelas jika kita angkat bicara?

Bisa ya, bisa tidak. Ketika jiwa kita terkuasai oleh otoritas mulut dan lidah, segala sesuatu bisa membuncah tanpa kendali yang kuat. Tak bisa dipungkiri, pengalaman membuktikan bahwa lidah kadangkala lebih tajam dari mata pisau. Iblis dan para setan itu, hidup merdeka bergelantungan di sana. Berhati-hatilah.

Ah, mulai sok tau dirimu itu.

Aku tidak memintamu untuk memercayai segala ocehanku. Segalanya kembali padamu. Hidup ini penuh teka-teki. Hanya pilihan-pilihanmulah yang membuatnya layak untuk dijalani. Kau boleh memilih kehidupan dalam alam materialis yang penuh ilusi dan bujukan hawa nafsu. Atau kau boleh juga menjalani hidup dalam konteks kekayaan batin dalam wadah kebahagiaan yang kekal.

Apa itu kekayaan batin dalam wadah kebahagiaan yang kekal? Setahuku tak ada kekekalan di dunia fana ini. Roda kehidupan selalu berputar. Bagaimana kau bisa menjelaskan kebahagiaan itu kekal?

Jiwa yang bebas tersenyum mendengarnya. Lalu diam sejenak. Tak lama kemudian ...

Kebahagiaan yang kekal dibangun dengan pondasi yang baik. Keikhlasan yang menjadi ruh penggeraknya. Takkan pernah lahir suatu kebahagiaan sejati tanpa diliputi keikhlasan yang utuh. Keluh kesah hanya akan meninggalkan kegundahan, kebencian, dan balas dendam. Tak perlu ada kalkulasi dalam dunia keikhlasan. Ini memang bukan hal mudah untuk dijalankan.

Bagaimana melakukannya?

Dengan berlatih.

Caranya?

Tetapkan niat dan buatlah komitmen. tak ada keduanya sama saja dengan pepesan kosong.

Lalu?

Kuasai perutmu.

Apa? Perut? Maksudmu?

Ya. Perut. Tempat bersemayamnya nafsu. Akar segala kejahatan dan kerusakan adalah tak terurusnya nafsu dengan baik. Buatlah makhluk dalam perutmu menjadi jinak dan tak punya kuasa atas jiwamu. Ini akan menjadi sebuah peperangan yang maha dahsyat saat jiwamu melawan nafsumu. Di sinilah kebijaksanaan dirimu akan menjalani ujian.

Stop sebentar. Yang perlu kau tau, aku benci dengan peperangan. Tak adakah cara yang dapat menegekang hawa nafsu tanpa harus berkonfrontasi?

Ada. Selalu ada jalan dalam mengekang hawa nafsu. Puasa.

Hah, apa? Puasa? Aku takkan menyiksa diriku sendiri hanya untuk berdamai dengan sang Nafsu.

Puasa bukan sebuah bentuk penyiksaan diri. Ragamu masih boleh mencecap dan bercengkerama dengan sang Nafsu. Yang kau perlukan hanyalah sebuah pengaturan. Sebuah tatanan yanag memberikan barikade yang jelas di mana nafsu tidak lagi bebas melancarkan aksinya.

Terjadi keheningan sesaat. Jiwa yang melekat pada diri mencoba mencerna penjelasan tersebut.

Kau berkata seolah tak pernah berurusan dengan nafsu.

Siapa bilang aku tak pernah berurusan dengan nafsu. dalam setiap detik yang menggerus waktuku selama hidup, nafsu senantiasa melekat dengan ke-Diri-anku. Hanya saja, tak pernah kuijinkan selamanya jiwaku didaulat menjadi budaknya.

Tapi, mana bisa? Kekuatan nafsu kan kekuatan yang membius? Halusinasi absurb yang membuat orang lalai tanpa merasa lalai.

Pertanyaannya, yang berbicara tadi jasadmu atau jiwamu. Yang menggerakkan pikiranmu itu logikamu, hatimu, atau nafsumu? Berikan batasan yang jelas. Kalau dirimu tahu dengan jelas jawabannya--karena memang harus dirimu sendiri yang menemukan jawabannya--tak akan pernah ada ceritanya, nafsu menguasai jiwamu.

Jiwa yang melekat pada tubuh mulai kacau pikirannya. Mencerna penjelasan dari jiwa yang bebas memang diperlukan sebuah totalitas berpikir dan kejernihan hati. Tak boleh diartikan secara parsial. Dalam keadaan chaos tersebut, dualitas kembali dalam esa. Menyatu. Satu. Memang, seperti dijelaskan oleh para pakar, meditasi bukanlah merupakan sarana mengurangi masalah. dalam beberapa kasus, mediatsi justru menambah masalah.

Saat jiwa dan raga terjalin erat, tak dibutuhkan lagi tali untuk membuatnya menyatu. Pagi telah menjelang. Hidup pun akan dimulai kembali. Tubuh yang termeditasi serentak bangun. Memulai hari dengan serangkaian peperangan yang berkecamuk dalam diri.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...