Sunday, June 06, 2010

Episode #9: Cerita Pulau (2) Keceriaan Anak-Anak Negeri Seribu Pulau

Suatu ketika saya pernah berpikir untuk membotolkan masa kanak-kanak. Sepertinya enak sekali jika kita bisa kembali menikmati keceriaan masa kecil ketika kenyataan menyebutkan bahwa dunia yang kita jalani sudah penuh dengan jenggot dan permasalahan tetek bengek orang dewasa. Teteknya sih enak, bengeknya itu yang membuatnya jadi susah. Tapi tentu saja, kegiatan membotolkan masa kanak-kanak itu hanya mungkin terjadi di dunia Harry Potter. Dunia fantasi Harry Potter memang tumbuh bersamaan dengan masa kecil saya hingga saya menginjak bangku kuliah.

Kenangan tersebut muncul kembali saat minggu lalu saya main-main ke Pulau Tidung, pulau terbesar dalam gugusan pulau di wilayah Kepulauan Seribu, Jakarta. Saya melihat banyak sekali anak-anak dengan senyum dan keceriaan khas mereka yang lucu, gaya bercanda mereka yang polos, dan tingkah polah mereka yang hampir selalu mengundang senyum. Sungguh suatu dunia dalam masa kehidupan manusia yang tak kan pernah berulang. Kadang saya berpikir bahwa sungguh bahagianya berada di masa kehidupan tersebut. Hidup rasanya hanya ada dua hal yaitu bermain dan belajar. Walaupun saya sudah segede gambreng seperti sekarang, di mana teman-teman saya sudah banyak yang menikah dan punya anak, saya justru masih kepikiran betapa menyenangkannya tetap bisa menikmati dunia mereka. Dunia anak-anak yang saya rindukan.

Liburan bagi saya adalah waktu yang enak buat refleksi diri, melihat dari dekat kehidupan orang-orang yang sama sekali tidak saya kenal. Saya biasanya menyempatkan diri untuk bergaul dengan penduduk asli dari suatu tempat yang saya kunjungi dan ngobrol sesuatu baik tentang kehidupan yang dijalaninya maupun suatu topik pembicaraan yang tersebar luas dan sama-sama kami ketahui karena menonton televisi. Dan di antara jenis orang yang selalu menarik untuk diajak ngobrol adalah anak-anak. Mengapa anak-anak? Karena mereka mempunyai jawaban yang polos dan apa adanya. Mereka tidak akan membuat-buat jawaban yang dilontarkannya.

Saya 'menemukan' banyak cerita dengan anak-anak Pulau Tidung yang seru-seru. Ketika saya ke sana (pas hari Sabtu) mereka baru saja pulang dari sekolah. Mereka ada yang masih mengenakan seragam saat bermain atau waktu membantu orang tuanya melayani pengunjung. Dengan pakaian pramuka, mereka lari sana-sini untuk mencari persediaan sepeda yang masih bisa disewakan untuk pengunjung pulau. Ada pula sekumpulan anak-anak lucu yang membantu orang tuanya menawarkan penginapan di rumahnya. Mereka ini memang sudah ganti baju dan lebih siap menyambut pendatang. Dengan gaya polosnya mereka menawarkan rumah-rumah orang tua mereka untuk menginap. Baju mereka pun lucu-lucu. Ada sekumpulan anak yang memakai kostumnya Persija dan Persib. Di kostumnya Jakmania itu ada ungkapan yang bisa membuat suporter Persib telinganya merah. Tapi anehnya mereka rukun-rukun saja tuh. Senang sekali melihat mereka hidup damai seperti itu. Lebih senang lagi kalau suporter Persija dan Persib juga serukun mereka. Soalnya biar kalau nonton bola di Sanayan jadi aman dan tenang sentosa. Soalnya tiap ada pertandingan bola, kok bawaannya parang, sangkur, gir motor, samurai, dan sejenisnya. Ini mau berangkat nonton bola atau mau perang ya?

Selain itu saya menemui ada anak-anak yang dari penampilannya terlihat kucel dan jarang mandi. Ia jalan bareng adiknya yang kebetulan membawa pianika. Busyet, anak sekecil itu, di sebuah pulau yang tidak terlalu besar, mainannya sudah pianika. Saya waktu seumuran dia mainannya baru kelereng dan gedebok pisang. Saya baru main piano saat kelas 5 SD, waktu mau lomba Siswa Teladan tingkat Kabupaten. Kebayang kan, kalau saya waktu itu tidak ikut lomba, sepertinya juga tidak bakalan punya piano. Kedua anak ini saya ajak ngobrol, ternyata sang kakak baru kelas 2 SD, dan ia sengaja main-main dengan adiknya ke Pulau Tidung kecil sehabis sekolah. Sayang adik rupanya. Dan melihat penampilan yang kelihatannya jarang diperhatikan orang tuanya ini, akhirnya mereka saya ajak untuk foto bersama. Dengan wajah sumringah berseri-seri mereka kelihatan senang. Walaupun sudah main pianika sejak usia itu, sang adik ternyata tidak bercelana hehehe.

Setelah berjalan lagi beberapa lama, kami akhirnya sampai di sebuah jembatan. Kata acara televisi Celebrity on Vacation jembatan itu dinamakan Jembatan Cinta. What? Tidak ada cerita dan petunjuk yang mengarah ke situ kok. Jadi, saya abaikan saja. Toh, bagi saya jembatan itu lebih asyik tanpa nama. Dan karena keasyikannya, saya sampai suka berlama-lama berada di jembatan itu (terutama di bagian yang jembatannya menggembung ke atas). Soalnya di bawah situ suka ada anak-anak kecil yang berenang dan berteriak memanggil orang-orang lewat di jembatan dengan 'cepek om, cepek om' yang artinya meminta uang receh. Mereka mengharapkan pengunjung pulau yang lewat di situ melemparkan uang receh ke laut dan mereka akan dengan sigap menyelam untuk mencari uang tersebut. Cukup menghibur dan menurut saya mereka adalah anak-anak yang pandai berenang secara alami. Secara saya sudah gede gini tidak bisa berenang. Dan saya lihat, beberapa dari mereka ada yang masih memakai baju seragam artinya begitu jam pulang sekolah mereka langsung nyebur ke situ untuk 'bekerja'.

Menurut Pak Asmari, penduduk Pulau Tidung yang kebetulan satu perahu dengan saya, mengatakan bahwa pulau ini baru mulai ramai sekitar tiga bulanan yang lalu. Jadi, bisa dikatakan bahwa pulau ini baru saja bergeliat sebagai salah satu kunjungan wisata. Dan bisa dipastikan ke depannya akan banyak sekali kesempatan bagi penduduknya mendapatkan penghasilan melalui pariwisata ini. Tidak dapat disangkal pula bahwa anak-anak di sini juga mengalami ancaman yang tak terlihat dari menggeliatnya iklim pariwisata Pulau Tidung itu.

Karena sekolah di pulau ini sangat terbatas, walaupun ada SD, SMP, dan SMK, tapi tetap saja ada ancaman anak-anaknya bisa malas sekolah jika uang yang berusaha orang tua mereka dapatkan mendadak berdatangan. Bisa-bisa anak bisa menjadi aset untuk membantu orang tua dan malah tidak bersekolah karena sudah mampu diajak mencari uang. Ini penting menjadi konsen bagi Dinas Pariwisata DKI Jakarta, Kementerian Urusan Peranan Wanita dan Perlindungan Anak, dan Komnas Perlindungan Anak ke depannya. Semoga tidak terjadi. Tapi saya agak khawatir jika itu terjadi. Kehilangan masa kanak-kanak itu sangat menyakitkan. Saya tidak mau anak-anak ini merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan dalam kehidupan mereka yang seharusnya tidak perlu mereka rasakan. Saya tetap ingin anak-anak ini bermain dan belajar sesuai dengan tingkat usia mereka. Dan ketika sudah capek keliling pulau, saya bertemu dengan senyum polos anak-anak di bawah ini, yang mengajarkan kepada saya bahwa kebahagian hidup itu sebenarnya terletak dekat sekali dengan kita, hadir dalam setiap waktu yang kita lalui dalam bentuk kehidupan sederhana yang mengasyikkan. Saya jadi tersenyum sendiri dan merenung, mengapa saya begitu jauh-jauh mencari ketenangan hidup dan penghilang stres jika solusinya sudah ada di depan mata. Tapi saya kira, saya memang harus ke sini dulu untuk mendapatkan jawaban itu. Dan anak-anak inilah yang mengajarkannya kepada saya. Dengan kesederhanaan dan kepolosan mereka. Kesederhanaan dan kepolosan dunia anak-anak yang selalu saya rindukan. Duh, senangnya menjadi anak-anak dan menikmati berada di usia itu.

Anak-anak pulau dengan kesederhanaan dan kepolosannya,
begitu senang saat saya foto ;=)

2 comments:

  1. huu...adie doyan te** melulu hahaha....

    masa kanak2 emang paling indah :D

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...