Maka, dengan pertimbangan bahwa kalau pun tidak dapat penginapan, kita rela untuk tidur di emper pelabuhan, emper sekolah, atau masjid. Bahkan salah satu teman saya sudah ngomong, jika terpaksa tidak mendapatkan penginapan, ia rela untuk camping dan tidur seadanya di tepi pantai. Mendengar hal itu, saya jadi semakin yakin karena menemukan teman yang mau diajak jalan dengan budget pas-pasan. Saya pikir, perjalanan saya kali ini akan lebih terasa suasana adventurousnya.
Kami tiba di pelabuhan Angke saat lampu-lampu jalanan masih terang. Langit di angkasa menyala merah akibat radiasi lampu-lampu ibukota yang menyala kelewat terang. Setelah sholat subuh dan melakukan ritual pagi (saya termasuk yang suka kena morningsick alias hoek-hoek kalau pagi), teman-teman pun saya giring untuk segera masuk ke pelabuhan. Di situ ternyata sudah ramai pengunjung. Ada berderet kapal-kapal nelayan dengan berbagai tujuan di Kepulauan Seribu di antaranya yaitu ke Pulau Tidung, Pulau Pramuka, Pulau Bidadari, Pulau Unrust, dan lainnya. Perahu tujuan kami yaitu ke Pulau Tidung ternyata sudah siap dan hampir penuh. Melihat buritan yang masih lega saya pun mengode teman-teman untuk lewat perahu yang lagi parkir menuju perahu yang menuju ke Pulau Tidung.
Setelah semua mendapat tempatnya masing-masing, kami pun sibuk sendiri-sendiri untuk membuat tempatnya paling nyaman sendiri. Saya lebih memilih di bangku pinggir paling belakang. Selain bisa melihat laut lepas tanpa penghalang, saya pikir melihat buih hasil baling-naling menarik juga. Dan setelah perahu mencukupi untuk membuat nahkodanya untung, akhirnya berangkat juga.
Awalnya saya masih berkutat ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman saya, mengambil gambar dengan background yang bagus untuk diuplod di facebook. Setelah saya rasa cukup, saya pun pindah tempat duduk dan mencari teman ngobrol yang bukan dari gerombolan saya.
Inilah yang saya sukai saat jalan-jalan. Mengenal orang-orang baru yang sama sekali asing dan belum pernah saya kenal sebelumnya. Orang 'asing' pertama yang saya ajak ngobrol bernama Pak Asmari. Berawal dari tanya-tanya tentang nama-nama pulau dan jaring-jaring atau tempat pembudidayaan kerang yang kami lalui, akhirnya obrolan merembet ke topik tentang kehidupan pribadi.
Dan coba tebak apa pekerjaan Pak Asmari ini? Beliau ini adalah seorang trantib. What? trantib. Pertama kali mendengarnya saya langsung berdesir hehehe. Secara kata itu selalu mendengungkan konotasi orang-orang yang 'membersihkan' manusia-manusia tak tahu aturan dan memanfaatkan jalanan umum untuk 'jualan' baik arti sebenarnya maupun arti kiasan.
Pak Asmari sudah menikah tapi belum memiliki momongan dan ketika saya tanya ternyata beliau ini sedang ada acara di lapangan Monas dari satu minggu lalu. Baru bisa pulang setelah acara selesai. Beliau mengikuti acara gladi bersih untuk pergantian pemerintahan seorang petinggi pemerintahan di Pemda DKI. Tak jelas saya DKI bagian mana. Yang jelas, beliau diundang untuk mengamankan prosesi acara tersebut.
"Saya sudah seminggu ada di Jakarta, dan baru pulang sekarang. Kalau dinas ke luar pulau seperti ini, saya berat di ongkos mas, soalnya antara uang jalan dengan pengeluaran selama di kota gak imbang", kata Pak Asmari berkeluh kesah. Jika tidak sedang bertugas, Pak Asmari melaut. Dan ketika kita enak-enaknya ngobrol, tiba-tiba perahu yang kita tumpangi berhenti mendadak. Saya sudah khawatir saja. Soalnya perahu tersebut mogok, terombang-ambing di tengah laut, karena ada sampah yang nyangkut di baling-baling. Tak berapa lama, ada satu bapak-bapak yang tiba-tiba nyemplung ke laut dan menyelam, membersihkan sampah di baling-baling dengan peralatan selam seadanya. Wadew, apa gak takut tenggelam ya? Secara kan lautnya dalem. Mungkin karena hidup matinya ada di laut akhirnya menjadi biasa saja melakukan hal-hal yang menurut saya ekstrim seperti itu.
Setelah dicek dan ternyata tak ada apa-apa, akhirnya perahu pun jalan kembali. Dan bapak-bapak penyelam (saya lupa tidak sempat menanyakan namanya) dengan santainya duduk di sebelah saya dan menyalakan rokok. Sesimpel itu kehidupan mereka. Jika belum jelas, mana Pak Asmari dan mana Pak Penyelam silakan cek foto saya yang paling atas, yang pakai topi adalah Pak Penyelam.
Pak Penyelam memang kegiatan sehari-harinya adalah ojek perahu seperti ini yang bertugas untuk membersihkan baling-baling yang tersangkut sampah. Saya jadi berpikir, orang-orang ini berjalan hilir mudik setiap hari mengarungi lautan dengan resiko yang tidak biasa. Mereka bekerja dengan ketulusan demi menghidupi keluarga mereka di pulau.
Dan dari obrolan singkat itu, saya iseng-iseng untuk menanyakan bahwa bolehkah saya menginap di rumahnya. Kali ini Pak Asmari yang saya tanya. Tadinya beliau menjawab tidak bisa soalnya rumahnya memang tidak diniatkan untuk penginapan. Tapi beliau mencoba membantu saya dengan menanyakan rumah saudaranya kalau-kalau bisa digunakan untuk menginap saya dan teman-teman. Saya bilang saya perlu melihat rumahnya dulu soalnya bisa jadi saya cocok dengan suasana dan harganya, namun teman-teman saya kurang cocok.
Saya jadi tahu bahwa meskipun hidupnya kelihatan susah, orang-orang pulau hobi banget untuk menelepon. Soalnya ketika saya tawarkan pulsa saya untuk menelepon saudaranya itu, beliau dengan cepat menjawab bahwa pulsanya masih banyak. Busyet. Trantib banyak pulsa rupanya. Akhirnya, biar tidak ribet dan menghindari sikap tidak enak (terus terang saya jadi tidak enak jika ternyata rumah yang ditawarkan tidak cocok setelah pulsanya keluar) saya akhirnya ngomong saja begini, Pak daripada bapak habis pulsa, mending kita tunggu saja, sebentar lagi perahu segera berlabuh, kita lihat saja dulu rumahnya. Eh si bapaknya jawab, gak apa-apa mas, santai saja sama saya. Wow, betapa ramahnya. Semoga bukan keramahan yang dibuat-buat. Dan akhirnya, kita kembali ke obrolan dengan grup masing-masing. Saya dengan teman-teman saya dan Pak Asmari dengan Pak Penyelam.
Dari obrolan singkat tersebut saya jadi tahu bahwa hidup di pulau tidak selalu menemui fasilitas-fasilitas yang memudahkan kita untuk hidup. Di manapun kita tinggal, kita akan selalu menemui bentuk perjuangan untuk bertahan hidup. Tinggal bagaimana kita menjadikan bentuk perjuangan tersebut menjadi enak untuk dinikmati. Ketulusan menghargai orang lain kadangkala bisa diberikan dengan cara sederhana yaitu dengan memberikan informasi sejelas-jelasnya tanpa ada pretensi apa-apa. Jika informasi tersebut tidak mengandung efek yang membahayakan, tak ada salahnya berbagi informasi kepada sesama. Transfer ilmu yang paling efektif kadang kala bisa terjadi melalui obrolan ringan yang sama sekali tidak kita sadari bahwa sebenarnya mempunyai arti yang tidak biasa bagi kehidupan kita.
Saya jadi berpikir, bahwa apa yang saya lakukan belum apa-apa karena saya mudah mendapatkan fasilitas yang saya inginkan asal punya uang. Tidak perlu menunggu sampai besok untuk bisa pergi ke mana-mana gara-gara tempat tinggal saya tak terpisahkan lautan untuk sampai ke ibukota. Saya sebenarnya lebih 'bebas' daripada kedua bapak-bapak yang saya temui di perahu. Dengan pemikiran tersebut akhirnya perahu yang kami tumpangi merapat di dermaga Pulau Tidung yang sudah ramai dengan penduduk yang menjemput orang-orang yang sudah memesan rumah mereka untuk penginapan. Welcome to Tidung Island, welcome to a little piece of heaven.
PS: Pada perjalanan kali ini saya cukup beruntung bisa melihat ikan lumba-lumba di laut lepas dan ikan cucut yang meluncur-luncur di atas permukaan air. Senangnya. ;=)
nice adventure, btw sejak kapan ya nama pulau Onrust jadi pulau unroush ? hehehe...
ReplyDeleteada beberapa kalimat yg menurutq kurang pas diksinya,misal mengatakan lampu masih terang, maksudnya lampu masih menyala..
ditunggu cerita selanjutnya
udah diedit. tapi soal diksinya, coba kamu baca kalimat selanjutnya. Jika pakai kata yang sama, justru akan menimbulkan repetisi yang tidak indah, tengkyu untuk atensinya ;=)
ReplyDelete