Friday, January 15, 2010

Antara Aku, Puisi, dan Sebuah Petualangan


Hidup adalah sebuah proses tentang perjalanan waktu. Cerita tentang suatu alur yang membentuk dongeng yang menuntut untuk selalu diteruskan. Narasi kehidupan akan hadir seiring dengan tertatihnya waktu. Keindahan bahasanya sangat tergantung kepada seberapa beraninya kita mengambil langkah untuk berspekulasi dengan ketidakpastian. Hidup adalah juga lagu yang menanti untuk dinyanyikan. Seberapa getirnya lagu tersebut bermelodi, tetap saja tak akan lupa memberimu kejutan tak terduga akan indahnya suatu filosofi.

Hidup juga berarti rentetan suatu pertanyaan. Seberapa jauhnya dirimu bisa menjawab, tergantung kepada seberapa jauhnya kamu mulai sadar akan hakikat kehidupan. Mencari dan terus mencari tahu, bertanya dan terus bertanya-tanya, serta menduga dan konsisten membuat suatu hipotesis merupakan jembatan untuk mencapai jawaban itu. Jawaban dari suatu pertanyaan sederhana yang bersumber dari satu tanda tanya agung.

Ada kalanya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terpampang jelas di depan mata. Hadir begitu dekat sehingga tak perlu buang banyak energi untuk mencari tahu. Kadang-kadang jawaban itu juga manja sekali untuk dicari tahu. Ia bersembunyi sebentar agar kita senantiasa bersabar dan menunjukkan integritas untuk mencarinya. Tantangan terbesarnya adalah mencari yang tak dapat dicari dan berusaha menemukan yang tak dapat ditemukan. Itu hanya bisa didapatkan dari proses perjalanan. Perjalanan waktu maupun perjalanan tempat. Pengalaman.

Hidup juga berarti rangkaian suatu tanda titik. Banyak sekali titik-titik di bumi ini yang haus untuk dihubungkan. Dari titik-titik itulah jalan mencari jawaban juga terbentang. Pertanyaan selanjutnya, jika dunia ini penuh dengan titik-titik yang runut untuk dihubungkan dan dicari keterhubungannya, mengapa ada orang yang puas hanya berdiam di satu titik? Kembali ingatanku diterbangkan kepada memori dari petuah agung sang ulama Imam Syafi'i tentang indahnya suatu perjalanan, pergerakan. Sebuah hijrah.

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang."

Hijrah. Sebuah perjalanan. Banyak sekali yang akan didapatkan dari rangkaian suatu perjalanan. Jika ada peribahasa janganlah seperti katak dalam tempurung, maka suatu perjalanan yang akan membawamu ke dalam relung-relung kehidupan akan mengajakmu lebih dari sekadar keluar dari tempurung. Kau akan tahu bahwa apa yang terjadi dalam hidupmu, dalam keseharianmu, dalam kelaziman di sekelilingmu mungkin saja lebih baik atau bahkan malah lebih buruk dari apa yang terjadi di tempat lain. Tidakkah kau ingin mencari mutiara-mutiara kebaikan yang tertanam jauh dari tempat di mana dirimu tenang bersemayam?

Ah. Rumah tentu saja. Tempat itu menjanjikan ketenangan dan kenyamanan kehidupan. Tapi, tak pernahkah terlintas di benakmu, bahwa tanda tanya agung juga memberikan PR bagi kita untuk menyadari bahwa dalam suatu ketenangan hidup seringkali tersimpan kehidupan yang melenakan ingatan. Dalam suatu air yang tenang tak ubahnya menyimpan tenaga yang menghanyutkan. Rumah memang suatu zona aman. Tempat berteduh maupun berkembang biak. Menurunkan ketenangan-ketenangan yang akhirnya menjelma kesalahan beruntun berkesinambungan. Menuju kesalahkaprahan.

rindu. aku ini memang selalu rindu untuk pulang. tapi saban kali juga tak betah. petualang sekaligus pencinta rumah

Sebuah dilema menjadi seorang pejalan jauh. Aku lebih suka menyebutnya demikan untuk mewakili petualangan-petualangan kecil yang kulalui demi mencari jawaban atas tantangan dan pertanyaan kehidupan. Di satu sisi, rumah menawarkan kerinduan yang mencandu. Di saat yang lain, rumah serupa kebosanan yang merengek untuk segera ditawarkan. Rumah mengingatkan kita semua akan suatu kegundahan-kegundahan di masa depan. Dilema menjadi tua dan segenap permasalahan hidup yang mengikutinya. Namun inilah yang dinamakan pilihan. Menjadi petualang sekaligus pencinta rumah. Sebuah proses kehidupan yang layak dipilih dan dipertanggungjawabkan yang jarang jadi pilihan kebanyakan orang.

demikianlah musafir: kita takut menjadi tua. namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi, menjadi kanak-kanak. kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran. di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan

Ah, puisi. Selalu saja dirimu lugu bersolusi. Indah bahasamu seakan menawarkan kerinduanku pada rumah. Engkau mahir menjadi tongkat penunjuk untuk hati dan imanku yang kadang goyah untuk menjadi penjelajah. Sesuai dengan ide yang menari-nari di kepalaku. Bahwa dengan perjalanan yang kulakukan, aku yakin akan menemukan ilmu-ilmu baru, pengetahuan-pengetahuan yang mencengangkan, bertemu dengan bermacam-macam orang dengan beraneka latar belakang. Aku yakin akan menemukan filosofi kehidupan. Memetik pengalaman, membuat penilaian, menimbang-nimbang rasa kehidupan, hingga menarik kesimpulan. Menakar suatu nilai maupun mengadopsi suatu pemikiran.

Karena bukan suatu jalan dari pilihan orang banyak, maka siap-siaplah dirimu dengan konsekuensi yang akan kau terima dari orang-orang awam yang akan menjadi juri dari langkah yang kau pilih. Ah, biasa saja. Mereka memang seperti itu. Jumlahnya mayoritas, mulutnya banyak, dan seringkali mahir mengolok-olok. Karakter yang hanya cocok untuk satu peran dalam sandiwara kehidupan. Menjadi penonton. Lalu, jika dirimu seorang terpelajar, ilmu dan pengetahuan menjadi teman sekaligus sahabat terbaik, kebiasaan bertanya-tanya dan merayakan kebebasan berlogika menjadi tradisimu, akankah dirimu mau menjadi pribadi yang tak akan dikenal oleh siapapun. Manusia yang tertutup oleh jumlah mayoritas dalam komunitas. Silakan kembali pada iman masing-masing. Hanya hati yang tahu dan akan berbisik untuk menunjukkan suatu jawaban besar dari pertanyaan sederhana dalam hidup. Sebuah kenyataan.

Hidup memang jalinan yang menawarkan pilihan-pilihan. Ke mana hatimu bertaut, di situlah oasemu bersemayam. Dalam kepalamu tertanam banyak cahaya yang bertahan untuk membuncah memuntahkan sinar. Begitu pula, terangkum penjara yang menggiringmu ke arah kepicikan berpikir. Karena itu, ikutilah keinginan hati untuk melakukan suatu perjalanan.
Merekam tradisi dan pengalaman untuk dijadikan cermin dalam sebuah bingkai rona kehidupan.

salam bagimu peziarah muda. hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil yang dilupakan dunia. ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari

Tidak semua ocehanku layak kau ikuti. Tidak semua tindakanku layak kau lakukan juga. Aku hanyalah seorang yang haus akan sebuah perjalanan. Petualangan-petualangan kecil yang kutemui hanyalah renik dari ketetapan-ketetapan hukum Ilahi dan pesan yang dikidungkan oleh puisi-puisi. Aku yang mencoba merangkai pengalaman dalam hidup hanyalah seorang turis yang bertamasya dalam diri. Demi sebuah pencarian agung dari jawaban yang menggantung di ujung tanda tanya dari proses kehidupan. Pencarian jati diri.


* Puisi dikutip dari Perjalanan Pulang karya Joko Pinurbo dalam buku kumpulan puisinya Celana Pacar Kecilku di Bawah Kibaran Sarung (Gramedia Pustaka Utama, 2007)

Gambar dipinjam dari sini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...