Monday, November 30, 2009

Jalan Panjang Menuju Surga Ubud

Membaca dan menulis sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari saya. Seperti pernah saya tulis dalam postingan saya terdahulu, membaca sudah menjadi kebutuhan hidup layaknya makan, minum, dan buang air. Sedangkan menulis saat ini, sedang menjadi hobi yang terus-menerus meminta untuk diasah. Sejak memiliki netbook, gairah untuk menulis dalam diri saya semakin meningkat. Writing is my passion. Mungkin itu ungkapan yang dapat mewakili representasi dari animo menulis yang saya alami. Saat ini saya tidak akan berbicara banyak akan kegiatan kreatif saya dalam membaca. Pertama karena sudah terlalu sering saya membahas perihal membaca. Yang kedua, karena membaca sudah seperti semacam kebutuhan, rasanya tidak perlu mendapat porsi lebih untuk membahas sesuatu yang sudah dilakukan secara periodik atau setiap hari.

Menulis bagi saya adalah semacam terapi jiwa. Entah mengapa, setelah selesai menulis, walaupun itu hanya mengisi folder curhat di netbook, rasanya ada semacam perasaan plong yang menjalar di diri ini. Pikiran seakan lepas seperti kalau kita mengungkapkan isi hati, memuntabkan amarah, atau tertawa terbahak-bahak. Menulis juga menjadi semacam alternatif untuk membunuh waktu luang. Karena keasyikan untuk menulis, rasanya saya ingin diberi tambahan deposit waktu dalam sehari agar mempunyai waktu sedikit lebih lama untuk menulis.

Dari kecil saya memang suka menulis. Walaupun tidak ada satupun anggota keluarga saya yang berprofesi sebagai penulis, pekerjaan menulis rasa-rasanya bisa saya jadikan semacam profesi sampingan dalam hidup. Saat ini saya sedang membaca buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang dari jilid satu sampai dengan jilid empat. Isinya adalah proses kreatif dari para penulis-penulis Indonesia yang karya-karyanya sudah diterbitkan dan mendapatkan pengakuan. Menarik sekali membaca kisah-kisah mereka dalam berproduksi untuk menghasilkan karya. Ada yang menganggap dirinya tinggi maksudnya menganggap bahwa kerja menulis atau bersastra hanyalah privilage dari orang-orang yang ngerti sastra, walaupun tidak dengan kata-kata yang langsung terus terang, namun dapat dirasakan dari diksi yang beliau pilih. Ada yang cukup rendah hati, bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan biasa saja yang dapat dikerjakan oleh semua orang asalkan rajin berlatih dan terus menerus mengasah kemampuannya dalam mengolah bahasa. Saya sedikit banyak belajar dari pengalaman mereka. Terutama sekali saya suka penjelasan Pak A.A. Navis, penulis cerpen Robohnya Surau Kami karena beliau menjelaskan proses kreatifnya dengan bahasa yang lugas, sederhana, tidak bertele-tele, dan mudah dimengerti. Dan tentu saja, tulisannya tersebut tidak terlalu memberikan jarak dari pembacanya, maksudnya diksi yang beliau gunakan seakan-akan orang yang akan membaca tulisan tersebut adalah sepadan. Beliau menempatkan dirinya sebagai mitra yang sedang membagi ilmu dan pengalamannya dalam berproses kreatif untuk menulis.
Saya memang belum selesai membaca ke-empat jilid buku tersebut. Sampai saat saya menulis catatan ini, saya baru sampai pada jilid ke dua. Menyenangkan sekali memang rasanya kalau kita bisa menulis.

Mengacu pada para penulis yang sepertinya menganggap tinggi dirinya setelah ‘kerja sastra’ yang dilakoninya, saya ingat perkataan Ratih Kumala, penulis buku Kronik Betawi, bahwa seseorang yang belum mumpuni, artinya belum mempunyai kerja nyata dalam dunia kepenulisan hendaknya tidak perlu menganggap tinggi dirinya seolah-olah sudah menjadi sastrawan besar. Saya setuju dengan pendapatnya. Sampai saat ini, saya memang belum menghasilkan buku. Tapi saya akan berusaha untuk mengarah ke sana. Maka dari itu, saya berusaha untuk tidak membuang-buang waktu dan tenaga saya untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu, yang mungkin akan menghambat jalan saya dalam berproses kreatif untuk menulis. Saya sebenarnya enggan untuk memberi komentar terhadap segala tulisan teman-teman saya yang minta untuk dikomentari. Yang pertama karena kita sama-sama sedang belajar. Menurut saya, ketika kita sedang belajar menulis, dan kita bermaksud untuk menuju ke arah produksi buku, saya rasa minta komentar atau kritik saran tidak perlu terlampau penting. Karena bisa jadi alih-alih memberi semangat kepada calon penulis yang bagus, akan berpotensi juga untuk menghancurkan semangat calon penulis tersebut untuk terus menulis. Yang kedua, dalam taraf saya sekarang, saya belum mempunyai reputasi apapun di bidang kepenulisan. Apalagi sastra. Jadi, saya merasa kurang pantas untuk dimintai pendapatnya dalam menilai bagus tidaknya sebuah karya. Biasanya, saya akan memberi komentar agar calon penulis yang bersangkutan terus semangat untuk menulis.

Menulis bagi saya juga semacam pembuktian atas pencarian jati diri. Saya benar-benar ingin untuk membuktikan diri bahwa saya mampu membuat cerita yang bagus dan bermutu. Saya yakin bahwa apapun yang saya pikirkan penting untuk ditulis. Saya tidak menganggap bahwa apa yang akan saya tulis adalah sesuatu yang brilian atau berpotensi menakjubkan orang lain. Tulisan ini murni untuk diri saya sendiri. Inisiatif itu datang karena adanya keinginan untuk menuruti keegoisan dahaga pribadi untuk menulis cerita akibat serangkaian perjalanan panjang membaca dan menonton film. Ada semacam dorongan di diri ini yang mengatakan bahwa saya juga mampu melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orang lain di belahan lain dunia.

Memang, saya ingin sekali keliling dunia. Namun, saya tidak ingin perjalanan keliling dunia tersebut hanya berupa kunjungan wisata. Ada keinginan untuk berkomunikasi lebih jauh dengan orang-orang di luar negeri, bertukar pikiran dan ide, serta menjalin tali persaudaraan sehingga kunjungan yang saya lakukan akan mempunyai cerita dan kesan tersendiri. Oleh karena itu saya belajar menulis. Saya ingin menulis cerita yang bagus, yang dapat dibaca, diapresiasi, dan dinikmati oleh semua orang di seluruh dunia sehingga hal itu memungkinkan saya untuk roadshow ke beberapa negara. Saya melihat pengalaman JK. Rowling, Stephenie Meyer, dan Christopher Paolini saat mereka keliling dunia untuk mempromosikan bukunya. Selain itu tentu saja, ada festival-festival buku yang mengundang penulis-penulis dari seluruh dunia untuk berkumpul, duduk dalam satu meja membicarakan topik-topik dalam dunia literasi. Sungguh menyenangkan bisa menikmati pengalaman menarik seperti itu.

Berbicara mengenai festival yang dapat mengumpulkan penulis-penulis dari seluruh dunia, ada satu festival di Indonesia yang mewadahinya. Festival itu bernama Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Sebuah acara tahunan pertemuan penulis dunia dengan penulis Indonesia yang diselenggarakan di Ubud, Bali atas prakarsa Janet da Neefe yang bernaung di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati.

Saya mengenal Janet da Neefe karena tidak sengaja melihat akun facebooknya ada di daftar teman milik teman saya. Saya baru tahu kalau Janet (panggilan akrab Janet da Neefe) adalah Direktur Eksekutif UWRF. Waktu itu saya iseng menambahkan dia sebagai teman karena melihat dia adalah seorang cewek bule Australia yang cantik dan seksi. Baru-baru ini, saya baca profilnya di Kompas (edisi Minggu 11 Oktober 2009), ternyata dia adalah dewinya Ubud, anggun sekali mengenakan kebaya Bali.

Menurut berita-berita di koran UWRF sebenarnya sama seperti acara jumpa penulis yang biasa saya datangi di Jakarta, bedanya jumpa penulisnya kebanyakan adalah penulis dari luar negeri. Tentu saja bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Dengan reputasi tersebut tentunya UWRF mempunyai nilai tersendiri dan menjadi mimpi sebagian penulis tanah air agar karyanya dapat dinikmati oleh publik yang lebih luas. Artinya UWRF dapat menjadi jalan bagi penulis-penulis Indonesia untuk memperkenalkan karyanya di forum international.

Walaupun UWRF bukan satu-satunya jalan, tapi saya pikir suatu saat nanti, saya ingin sekali datang ke sana. Bukan sebagai peserta, tapi sebagai panelis yang diundang untuk mempresentasikan karya saya. Memang saat itu masih jauh dan saya sudah membuangnya jauh-jauh saat sedang berproduksi seperti ini. Tapi paling tidak saya sudah menyiapkan arah dan tujuan saya melangkah. Saya yakin bahwa kerja orang yang punya rencana lebih baik daripada kerja dadakan. Dan saya menyiapkannya dari sekarang. Saya agak sedikit iri dengan orang-orang yang saya kenal telah lebih dahulu diundang ke Ubud. Kalau saya perhatikan mereka-mereka adalah orang-orang yang bekerja keras mewujudkan mimpinya. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang keras kepala. Tidak mendengarkan celaan orang lain yang bermaksud untuk meremehkan dan mematahkan semangat. Dan hasilnya sudah bisa nilai dari kehebatan karya-karya mereka, buah dari kebebalan mengahadapi celaan yang tak beralasan.

Ubud memang menjadi primadona tensendiri bagi para pecinta buku dan mereka-mereka yang aktif dalam dunia literasi. Ibaratnya UWRF menjadi semacam tiket bagi penulis-penulis lokal untuk go international. Banyak mimpi diharapkan dan digantungkan dari UWRF. Sepertinya penulis Indonesia kurang afdhol kalau belum diundang di Ubud.

Selain magnet UWRF, ada rahasia kecil yang ingin saya bagi mengenai kenapa saya ingin berkunjung ke Ubud. Kata teman-teman saya, di Ubud ada tempat relaksasi dan tempat yoga yang nyaman sekali. Cocok sebagai sarana self healing dan media brainstrorming. Inilah yang menyebabkan Ubud dianggap sebagai surga untuk berkesenian. Self healing merupakan sarana untuk mengharmonikan medan magnet dalam tubuh dengan jiwa (soul) seseorang. Cara ini ditempuh sebagai upaya untuk menyatukan pikiran, ketenangan jiwa, dan harmoni alam. Efeknya sungguh luar biasa. Dampak dari stres akibat kepenatan hidup bisa berangsur-angsur menurun, peredaran darah lancar, dan tentu saja pikiran menjadi jernih. Pikiran yang jernih merupakan modal utama untuk melakukan brainstorming ide. Saya menyukai gabungan kedua konsep tersebut. Rasanya harmonisasi alam pikiran dengan olah jiwa tersebut dapat membuat kita mendapatkan sesuatu dengan bekerja keras tanpa kita merasa terlalu terbebani dengan apa yang tengah kita lakukan. Sebuah paket komplit yang menyatu menjadi paduan sempurna bagi para komuters Jakarta yang setiap harinya bersinggungan dengan deadline pekerjaan dan kemacetan lalu lintas.

Begitulah, betapa menakjubkannya hubungan menulis dengan mimpi untuk ke Ubud. Suatu jalan panjang yang layak dititi dengan kesungguhan dan kerja keras demi terwujudnya mimpi. Masih banyak hal perlu dipelajari, masih banyak waktu untuk koreksi diri, masih banyak jeda untuk mengambil sikap, dan tentu saja masih banyak yang harus dipersiapkan untuk ke Ubud. Jalan menuju kemerdekaan jiwa. Melalui medium kekuatan bahasa. Keajaiban kata.


Gambar dipinjam dari sini.

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...