Friday, April 17, 2009

Sebuah Pikiran yang Terlintas Sebelum Lelap

Aku diam. Malam sepi. Pemandangan yang ada hanyalah langit-langit dengan cicak yang lari ke sana ke mari menangkap nyamuk. Meskipun kutahu malam di luar sana belum usai, aku berusaha untuk segera menamatkannya. Berhenti di satu titik untuk melebur ke alam mimpi.

Aku capek. Aku lelah. Aku tak habis pikir. Betapa menggilanya hidup yang harus dijalani seorang manusia. Aku menyaksikan kehidupan malam tadi. Betapa banyak kepalsuan yang ditampilkan untuk sekadar mendapatkan sematan bernama pujian. Aku tertawa. Lebih banyak merasa miris. Tak kuhiraukan seorang pelacur yang menggodaku menjadi pendosa. Tak juga kudengarkan khotbah Sang Pendeta yang mengobral surga. Aku ingin sebuah kehidupan yang serba biasa. Tak ada yang perlu dilebih-lebihkan. Apalagi direkayasa.

Seperti malam ini. Masih kutatap langit-langit bercicak itu, sambil berpikir, jika diijinkan untuk memilih jenis kehidupan seperti apa yang layak dijalani, aku akan memilih hidup dalam kewajaran. Tak perlu ada plus atau minus. Tak ada positif dan negatif. Tak ada mayoritas dan minoritas. Dualisme perbedaan itulah yang selama ini menuntunku pada serangkaian perdebatan tanpa arti. Menjadikanku semacam budak sains yang seolah tahu segalanya. Atau mungkin, menjadikanku semacam robot yang paling keras kepala yang pernah ada di muka bumi.

Malam masih sepi. Tak ada jangkrik berderik. Atau musik berhentak. Perhatianku teralih ke sudut ruangan. Tempat bertumpuknya macam-macam buku terdiam mengonggok. Menunggu untuk dijamah. Buku-buku itulah mungkin yang layak diberikan penghargaan atau mungkin disematkan pujian. Ia layak disebut teman. Serta mumpuni disebut setan. Tak tahu apakah terlalu sarkastis diriku menyebutnya. Tapi setelah kupikir-pikir, ia juga layak disebut dosen. Dengan mata kuliah bernama keegoisan. Lama diriku menatapnya. Tak pernah terpikirkan olehku seperti itu. Setidaknya sampai malam ini.

Mataku belum terpejam. Perut sang cicak juga rupanya belum terpuaskan. Apakah enaknya menjadi pendosa? Tiba-tiba pikiran itu mengejutkanku. Lalu, apa juga menariknya menjadi pertapa? Tak pernah terlintas di pikiranku untuk menjadi keduanya. Walaupun tak menutup kemungkinan sekelumit hidupku pernah mencicip keduanya. Entah sengaja, entah tidak. Namun setelah kupikir-pikir, hidupku--juga hidup semua orang-- adalah fusi keduanya. Pendosa dan pertapa. Meski beda komposisi. Tapi yang sungguh membuatku tak habis pikir, mengapa orang begitu mudahnya memberikan label pada orang lain? Memberikan penilaian seolah dirinya adalah juri-juri dunia yang tugasnya adalah menempelkan sebuah papan nama pada diri orang lain--yang dalam beberapa hal tidak mereka kenal dengan baik.

Ia pendosa, selayaknya di neraka. Si Anu pertapa, sangat pantas masuk surga. Lalu, manusia yang bukan pendosa dan bukan pertapa tempatnya di mana?

Pikiran tersebut seperti hendak membisikkan sebuah jawaban atau mantra pengantar tidur. Sebuah pikiran kecil terlintas, yang membuatku tersenyum, sambil perlahan-lahan melemaskan diri, menempatkan tubuh dalam posisi yang nyaman untuk berbaring. Pikiran itu adalah sebuah jawaban atas pertanyaan yang baru saja melintas.

Di dunia

3 comments:

  1. Lama sudah pemikiran ini juga mengendap di salah satu dinding otakku. Menjadi manusia antara.

    Kadang bahkan aku bisa mual-mual sendiri memikirkan (mungkin) jawabannya. Terlalu absurd.

    Pendosa dan pertapa. Keduanya mungkin saja sebuah eksistensi, atau hanyalah semacam garis batas amplitudo. Kitalah, manusia, gelombang yang berjalan. Tak bisa lepas dari titik puncak, pun tak terhindar dari titik dasar. Tinggal bagaiamana kualitas gelombang yang kita mainkan. Dan permainan Sang Waktu menghentikan kita.

    Banyak kudengar cerita seorang alim ulama yang mati dalam keadaan hina. Tak sedikit pula kisah maniak pendosa mati saat sujud pertamanya. Masuk ke manakah mereka? Surga atau neraka? Aku hampir gila memikirkannya. Sungguh di luar daya nalar kuasaku.

    Yang kutahu pasti, kita tak boleh berhenti bergerak.



    ...

    Hahhaa,, perumpaan gelombang dan batas amplitudo baru saja tercipta saat menulis comment ini,, maaf kalau terdengar konyol,,

    tulisanmu yang ini cukup mewakiliku Di,, dan umat manusia mungkin,, :D

    semangadh!!! saatnya kita tampil ... hahahhaa ;-)

    ReplyDelete
  2. waduh tulisannya keren deh.. salam kenal dari saya.... salam "bayu city"

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...