Monday, January 12, 2009

Refleksi Datangnya Dua Tahun Baru

Time for Everything

Take time to work
It is the price of success
Take time to think
It is the source of power
Take time to play
It is the secret of perpetual youth
Take time to read
It is the fountain of wisdom
Take time to be friendly
It is the road to happiness
Take time to dream
It is hitching your wagon to a star
Take time to love and be loved
Is is the privilage of the gods
Take time to look around
It is too short a day to be selfish
Take time to lought
It is the music of the soul

Old English Prayer

Tak terasa waktu terus berlalu. Tahun pun berganti. Dan tak tanggung-tanggung, dua tahun baru menghampiri kita semua dalam waktu hampir bersamaan. 1 Muharram 1430 H yang bertepatan dengan tanggal 28 Desember 2008 dan kemudian disusul 1 Januari 2009. Berbagai macam perayaan, pesta, dan cara dilakukan untuk menyambutdatangnya awal tahun. Di beberapa daerah diberitakan bahwa masyarakat berbondong-bondong untuk berkumpul di tempat-tempat keramaian demi menunggu datangnya detik pertama dalam satu periode 365 hari. Detik pertama. Begitu penting dan sakral sepertinya momen tersebut karena begitu detik pertama telah terketuk, sorak sorai dan bunyi terompet menggema di mana-mana.

Walaupun tak semeriah 1 Januari, perayaan awal tahun Hijriah juga terbilang semarak. Adanya tradisi Grebeg Sura yang merupakan tradisi beberapa masyarakat Indonesia khususnya Jawa juga tak lepas sebagai salah satu cara memaknai datangnya babak baru dalam periode kehidupan.

Di kedua perayaan tahun baru tersebut, banyak harapan, doa, dan keinginan dibuat dalam suatu paket berlabel resolusi. Entah dalam perjalanannya resolusi tersebut akan dilaksanakan benar atau tidak itu urusan ke sekian, yang penting sederet ikrar bernama resolusi telah diucapkan selaksa mantra.

Yang menjadi persoalan adalah apakah esensinya? Bukankah hari ini dan kemarin itu sama saja, hanya kemasannya saja yang berbeda? Apakah orang yang tidak mengikuti euforia tahun baru dan memilih untuk tidur di rumah tanpa tahu detik pertama di tahun tersebut akan lebih tidak beruntung daripada mereka yang mengkhidmadi momen tahun baru?

Saya kira bukan itu masalahnya. Yang dibutuhkan di sini sebenarnya hanyalah momentum. Tahun baru dijadikan sebagai pijakan untuk berhenti dari segala rutinitas yang telah berjalan, memaknai, mengoreksi, dan berefleksi terhadap apa yang sudah dilakukan serta memikirkan apa yang harus dilakukan. Sama seperti hari ulang tahun, momen tahun baru dijadikan sebagai semacam titik mulai kehidupan baru.

Tradisi

Perayaan pada tanggal 1 setiap awal tahun merupakan tradisi. Pada hakikatnya jika kita tidak merayakannya pun juga bukan menjadi suatu masalah. Namun demikian, adanya anggapan bahwa momen tersebut sangat sakral dan mampu mengandung tuah bagi yang memaknainya dengan semacam upacara tertentu, perayaan-perayaan tersebut selalu dilaksanakan. Walaupun sama-sama mengandung unsur perayaan, 1 Muharram lebih kental nuansa kesakralannya dibanding perayaan 1 Januari. hal itu terjadi karena adanya kepercayaan dari masyarakat Jawa (khususnya) bahwa bulan tersebut penuh dengan pantangan dan balak sehingga jarang (atau bahkan tidak ada) orang Jawa melangsungkan acara hajatan seperti pernikahan di bulan Muharram.

Jenang Sengkala dalam perayaan 1 Muharram

Diawali dengan membuat tumpeng atau sesajen yang dilengkapi dengan doa keselamatan, 1 Muharram diharapkan menjadi awal segala keberuntungan dan dijauhkan dari segala bencana sepanjang tahun tersebut. Sedangkan tradisi perayaan tahun baru pada 1 Januari lebih kepada momen untuk penghiburan seperti peniupan terompet atau pesta kembang api yang menandai dimulainya sebuah era baru kehidupan.

Terompet Tahun Baru

Resolusi

Lalu pentingkah beresolusi?
Banyak orang membuat suatu resolusi awal tahun untuk dicapai selama kurun waktu satu tahun tersebut. Tapi sangat sedikit orang yang berefleksi dan sejenak mengevaluasi seberapa berhasilkah resolusi yang telah dibuat di awal tahun tersebut telah terlaksana pada akhir tahun. Kebanyakan resolusi hanya dibuat sebagi semacam pemanis awal tahun yang datang sekelebat untuk dilupakan selama tahun berjalan.

Sangat jarang sekali orang yang fokus untuk melaksanakan resolusi yang telah dibuatnya sendiri. Dan juga tidak sedikit orang yang stres akibat resolusi yang dibuatnya tidak kesampaian. Pada dasarnya penyakit pikiran itu ada karena manusia berkutat pada pemikiran mengenai 'cerita sebelum waktunya' (angan-angan, proyeksi, dugaan, maupun ramalan tentang masa depan) dan 'cerita yang telah lewat' (kenangan tentang kegagalan atau ketidaksuksesan dalam suatu hal). Kurangnya kemampuan untuk secara ikhlas melepaskan apa yang memang belum pantas kita dapatkan dan layak untuk kita perjuangkan itulah yang seringkali menambah beban pikiran semakin berat. Oleh karena itu, dalam membuat suatu resolusi perlu diperhatikan kemampuan diri untuk merealisasikannya yang perlu disinkronisasi dengan kebersediaan hati untuk secara ikhlas menerima dengan besar hati bahwa apa yang telah diresolusikan belum bersedia berada dalam genggaman. Tak perlu membuat daftar resolusi yang terlalu panjang agar tidak meninggalkan beban pikiran terlalu berat jika ternyata tak kesampaian.

Atau malah tak perlulah membuat resolusi. Hadapkan pikiran kita pada apa yang terjadi sekarang karena masa lalu telah lewat dan masa depan masih misteri, maka yang terpenting adalah SAAT INI. Buatlah setiap detik dalam hidup kian berharga dengan secara bijak mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat. Saya kira cara ini lebih efektif dan memberikan kelonggaran bagi kita untuk meraih segala sesuatu yang dapat meningkatkan potensi diri tanpa perlu merasa terbebani adanya target sebuah resolusi.

Seperti sebuah metafora dalam kehidupan tumbuhan, sebuah pohon akan terus tumbuh setiap hari, menjadi lebih tinggi dan lebih besar, hidup dengan segala unsur hara dari dalam tanah, dan menatap langit dengan kepastian. Pada dasarnya kehidupan manusia juga seperti itu. Ada atau tidak ada resolusi awal tahun, kehidupan yang kita jalani akan selalu tumbuh dan berkembang dengan sendirinya sesuai dengan momen yang tepat bagi kita untuk memilih dan mengambil keputusan terhadap apa yang akan membuat mimpi-mimpi kita terealisasi tanpa harus beresolusi.

Alam pikiran bawah sadar kita akan menuntun kapan saat yang tepat untuk memilih dan memutuskan suatu hal. Potensi tersebut perlu dilatih agar kian tajam. Di sinilah perlunya sebuah refleksi dan perenungan makna kehidupan untuk sesaat berdiam diri, bernafas, menanggalkan segala ambisi untuk secara arif mengoreksi diri, menata hati untuk bisa menerima, mengatur emosi untuk mengekspresikan suasana hati sesuai dengan porsinya. Saya yakin dari situlah akan terbit semacam kebijaksanaan hidup tertinggi setiap hari yang akan menjadi penuntun bagi kita untuk menggapai mimpi.

Oleh karena itu, ikut perayaan atau tidak, beresolusi atau sekadar semedi, yang terpenting adalah menata hati untuk selalu 'melepaskan' segala sesuatu yang membebani alam pikiran, berusaha menciptakan keajaiban di setiap detik yang berharga ini demi mengarsiteki takdir bagi diri pribadi untuk menatap kehidupan yang lebih berkualitas di masa mendatang tanpa meninggalkan sebuah koreksi. Karena kebahagiaan di masa depan adalah sesuatu yang semua orang inginkan, namun tak semua orang BERANI mendapatkannya.

Selamat Tahun Baru 1430 H dan Selamat Tahun Baru 2009.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...