Friday, April 15, 2011

Agama, Keterbukaan, dan Ketenangan Hidup

Saat berada di gerbong kereta Bima di Stasiun Gambir, Jakarta, mata saya tak beralih melihat kemegahan Gereja Immanuel yang berdiri gagah di seberang stasiun. Pun, ketika berada di Semarang, saya juga terpesona dengan Gereja Blenduk yang terdapat di Kompleks Kota Tua Semarang. Pikiran saya melayang ke deskripsi dari Pramoedya Ananta Toer melalui tetralogi Pulau Buru-nya yang mendunia. Saya membayangkan, seperti apa jemaat gereja itu, dulu. Sereligius itukah bangsa Belanda?

Kalau dilihat dari sejarah, selama berabad-abad sebenarnya kepercayaan yang dianut bangsa Eropa adalah pra-Kristen. Islam juga jadi bagian dari peradaban Eropa dari abad 8 sampai dengan 15. Sementara agama Kristen baru masuk Eropa pada abad 12, saat kekaisaran Turki Ottoman mengalami kehancuran. Hal itu diimbangi dengan adanya penjagaan perlindungan bangunan gereja sebagai bagian dari warisan budaya dan penghancuran masjid karena tak satupun yang dijadikan situs warisan budaya. Terbukti, dengan banyaknya bangunan berarsitektur Eropa yang bernafaskan nuansa Kristen yang kental. Namun demikian, bagaimanakah Belanda dewasa ini?


Kebanyakan warga Belanda ternyata adalah atheis, kedua terbanyak adalah Kristen, selanjutnya Islam, dan Budha. Betapa uniknya keanekaragaman tersebut. Dan betapa tenangnya menjalani kehidupan pribadi sebagai individu baik dalam kaitannya sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk Tuhan (atau bahkan tak berTuhan). Hal itu karena pemerintah Belanda menjunjung tinggi kebebasan hak asasi warganya dalam menjalani kehidupan sesuai dengan keadaan 'ideal' yang ingin dirasakan oleh setiap individu.

Masyarakat pun terbuka menerima segala perbedaan yang ada dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah adanya. Pun hal itu ditunjukkannya dengan mengakui keberadaan orang-orang yang dianggap 'berbeda' di negara lain. Tak heran Belanda dianggap sebagai sebuah surga bagi orang yang mempunyai pikiran terbuka dan konsep hidup yang ekstrimnya 'radikal' di negara lain.

Kelompok masyarakat yang mempunyai orientasi seksual berbeda (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) bisa hidup nyaman berdampingan dengan mereka yang 'normal'. Bahkan Belanda dianggap 'berkhianat' bagi 'negara beragama' karena melegalkan perkawinan sejenis. Kalau saya pikir, adanya Sex Museum, Homomonument, Red Light District, pelegalan konsumsi ganja di coffee shop, gerakan Dolle Mina yang menuntut pil KB sebagai salah satu paket asuransi kesehatan adalah bukti dari pewadahan ekspresi kebutuhan warga masyarakat yang disediakan dan dilindungi pemerintah. Sekularisasi masyarakat tersebut timbul dari pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab terhadap individu itu sendiri, menghargai perbedaan orang lain tanpa suatu penghakiman (bahkan pemaksaan) atas keyakinan tentang konsep hidup yang diyakini paling benar dan nyaman untuk dijalani individu masing-masing.

Pendidikan yang merata juga mendorong pemikiran terbuka tentang konsep pornografi, bahwa tidak semua yang berhubungan dengan ketelanjangan dan seksualitas itu porno. Dalam suatu kesempatan Riri Riza, sutradara kenamaan Indonesia pernah berkata kalau dirinya senang ikut festival film di luar negeri (terutama Rotterdam International Film Festival) karena di situlah karya filmnya utuh tanpa sensor tak beralasan, apalagi bermuatan politis.

Keterbukaan Belanda menawarkan liberalisasi kehidupan yang bertanggung jawab inilah justru yang unik. Di mana, agama di tempatkan sebagai sebuah pilihan dan individu diberi kebebasan memeluk (atau tidak memeluk) serta melindungi secara penuh pilihan tersebut. Mingkin, jenis kehidupan seperti inilah yang dapat menciptakan ketenangan hidup di setiap hati warganya sehingga selalu optimis menjalani kehidupan.

NB: artikel ini diikutkan dalam Kompetiblog Studi di Belanda 2011 yang diadakan oleh Neso Indonesia.

2 comments:

  1. Tentu situasi itu juga tidak terlepas dari sejarah Belanda. Tentu saja sejarahnya berbeda dengan sejarah Indonesia.

    ReplyDelete
  2. Di Belanda memang sangat maju dalam hal pengakuan hak-hak individu sekaligus perlindungan terhadapnya, menurut seorang teman yang pernah tinggal beberapa bulan disana Walau Belanda banyak yang Atheis tetapi dalam memperlakukan manusia mereka jauh lebih mulia dibanding bangsa yang selalu tampil dan ngaku beragama kayak Indonesia. . . . .
    Negara indah yang dikuasai oleh segelintir orang dengan nafsu yang merusak tatanan dan kemerdekaan warganya sendiri, ironi

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...