Friday, March 11, 2011

Merasakan Kenyamanan Belanda dari Batavia

Membaca beberapa berita tentang hasil survey lembaga internasional bahwa Belanda (selalu) masuk dalam sepuluh besar sebagai negara paling nyaman untuk ditinggali membuat saya bertanya benarkah demikian adanya? Karena belum pernah menginjakkan kaki di negara tanah rendah tersebut, saya mencoba mengidentifikasikannya melalui jejak Belanda yang ditinggalkan di Batavia (nama Jakarta tempo dulu).

Tak dapat dipungkiri, penjelajahan samudera yang mengantarkan pada berdirinya misi gereja di berbagai belahan dunia, pada akhirnya mendorong Belanda untuk melakukan kolonialisasi sehingga memberi modal besar untuk membangun dan memajukan bangsanya. Belajar dari keadaan negerinya, Belanda selalu berusaha menciptakan 'kenyamanan' di tempat yang akan ditinggali. Konon, Batavia merupakan 'kelinci percobaan' untuk model pembangunan kota New York.

Kalau kita lihat, secara umum konsepnya hampir sama. Pusat pemerintahan yang terletak di Kota Tua Jakarta mengingatkan saya pada Dam Square di mana terdapat lapangan luas yang dikelilingi oleh gedung-gedung sebagai pusat pemerintahan yang memudahkan dalam pengorganisasian segala hal. Bangunan-bangunannya pun berarsitektur dengan nuansa Eropa yang bisa dikenali bergaya Art Deco, Art Nouveau, dan Gothic yang kental dengan agama Kristen Eropa. Konon, gaya arsitektur dan ornamen dari gedung-gedung tersebut dipengaruhi oleh isi dari Al-Kitab. Hal ini menunjukkan bahwa agama dapat mendorong terwujudnya suatu peradaban pada semua kegiatan yang bersifat 'dunia' dilakukan untuk mencapai kedamaian hidup dengan bersinergi pada bagian ritual keagamaan.

Batavia sebagai kota yang bertanah rendah juga kerap diterjang banjir. Tinggal di kota yang keadaannya hampir sama dengan negerinya, membuat Belanda berpikir untuk menanggulangi permasalahan tersebut dengan mengelola sistem tata air melalui pengaturan debit air dan mengalirkannya melalui resapan serta kanal-kanal yang terintegrasi dengan volume debit air dari daerah hulu.

Saya jadi ingat quote yang mengatakan bahwa necessity is the mother of invention. Belanda yang serba 'kekurangan' mendorongnya untuk berpikir keras menciptakan 'dunia' yang nyaman bagi dirinya. Proyek besarnya membangun dam raksasa disertai storm barrier (pelindung badai) di seantero Belanda yang dinamakan Delta Works dan Zuiderzee Works membuatnya terhindar dari ancaman banjir melalui suatu sistem yang menjaga keseimbangan antara badai yang menerpa dengan ketinggian air laut.

Tentu, untuk menciptakan inovasi dan 'keajaiban' tersebut diperlukan usaha keras yang berkesinambungan. Pemerintah Belanda melalui universitas-universitasnya membiayai riset dan program pengembangan ilmu pengetahuan selain untuk mencari solusi atas kebutuhan negerinya, juga menjawab tantangan untuk membuat negerinya bertahan dari perkembangan zaman. Pemerataan dan kemudahan akses pendidikan mendorong terciptannya masyarakat yang terdidik dan terpelajar sehingga bisa kritis dan teratur demi mendukung program pemerintah dalam mewujudkan konsep kesejahteraan hidup yang merata.

Selain itu, saat berada di Rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat, saya juga merasakan 'kesenyapan' suatu bangunan rumah sakit yang ternyata masih mengadopsi sebuah pelayanan kesehatan dari zaman Belanda dengan sistem pengasuhan, artinya menerima pasien dari semua kalangan masyarakat dengan sistem subsidi silang. Di Belanda sendiri, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari teman yang sedang studi di sana, pelayanan kesehatan pun sudah dikonsep terbuka untuk semua kalangan dari berbagai macam latar belakang termasuk penghilangan diskriminasi dalam hal keyakinan yang dianut pasien.

Melihat kenyataan tersebut, 'kenyamanan hidup' di Belanda itu memang sengaja diciptakan, bukan hanya karena sebuah keinginan, tapi lebih kepada memaksimalkan anugerah HIDUP dari Tuhan.

NB: artikel ini diikutkan dalam Kompetiblog Studi di Belanda 2011 yang diadakan oleh Neso Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...