Wednesday, February 23, 2011

Bertamu di Rumah Allah

MASJID BAYUR, MANINJAU
Setiap kali berkunjung ke suatu daerah, saya hampir selalu menyempatkan diri untuk sholat di masjid yang terkenal di daerah tersebut. Bukannya apa-apa, tapi bagi saya, masjid yang paling 'utama' di suatu tempat, dalam asumsi saya merupakan masjid yang paling beragam pengunjungnya. Banyak orang yang bukan penduduk setempat melakukan ibadah di tempat yang sama. Dan bagi saya pribadi, pemandangan orang (asing) yang lalu lalang, terlihat heterogen, dan tak saling mengenal satu sama lain, namun terhubungkan dengan satu kodifikasi bahasa dalam ritual pemujaan kepada Sang Khalik merupakan bentuk keindahan hakiki yang menunjukkan bahwa persamaan kedudukan manusia di hadapan Tuhannya merupakan sesuatu yang mutlak dan tak terbantahkan. Hanya tingkat ketakwaannya saja yang menjadi pembeda antara satu dengan yang lainnya.Ketika melihat suatu jamaah sholat sedang khusuk menegakkan tiang agama, saya kadang berpikir, seandainya hidup yang kita jalani mendasarkan diri pada filosofi sholat, maka betapa harmonisnya jenis kehidupan yang tercipta di muka bumi. Perasaan takjub sekaligus prihatin kerap saya rasakan saat berkunjung ke masjid-masjid tersebut. Ada satu perasaan yang hadir namun sulit terbahasakan dengan sempurna saat melihat jamaah, datang dalam berbagai warna kehidupan, berbeda latar belakang, menggunakan atribut pakaian yang bermacam-macam, duduk dan bersujud dalam satu bahasa yang sama, serta mengamini doa sang imam. Namun, rasa miris juga teralami saat tahu, paska kekhusukan yang baru saja dilakukan dalam sederet doa dan permohonan yang dilantunkan harus berbayar hilangnya sepasang sandal atau tertukarnya barang di tempat penitipan. Saya kadang ikut prihatin jika melihat mereka-mereka yang baru saja kehilangan dan harus rela pulang tanpa alas kaki. Lebih miris lagi, saat saya bertandang ke Provinsi Sumatera Barat, saya melihat banyak sekali masjid didirikan hingga saya tak pernah merasa kesulitan untuk mencari masjid. Namun, di sisi yang lain, masjid-masjid tersebut sepi 'pengunjung'. Pertanyaannya, untuk apa didirikan banyak masjid, dengan kapasitas yang tidak tanggung-tanggung mampu menampung ratusan bahkan ribuan jamaah namun secara rutin hanya 'dihuni' oleh beberapa orang, termasuk takmir masjidnya? Apakah ini sebuah bentuk kemubaziran? Atau hal ini merupakan ekses dari banyaknya materi yang tak tersalurkan dengan efektif. Entahlah, saya hanya berusaha mereka-reka saja kemungkinan yang ada.
MASJID AGUNG JAWA TENGAH


Umumnya, masjid yang saya kunjungi merupakan bangunan yang terintegrasikan dengan gedung untuk hajatan. Orang dapat menyewa tempat tersebut untuk beberapa saat sehingga tahapan acara seperti pernikahan dapat dilaksanakan dengan menghemat waktu dan biaya. Akad nikah bisa dilakukan di dalam bangunan masjid sementara untuk resepsi diadakan di gedung yang letaknya bersebelahan dengan masjid tersebut. Beberapa kali saya menghadiri pernikahan teman yang letaknya di masjid model seperti itu. Tapi, dibalik efektifitas tersebut tentu saja menunggu sebuah harga yang variatif, tergantung dari model dan tingkat kemewahan dari gedung dan pesta yang diadakan. Untuk mesjid dengan 'aula' yang kapasitasnya terbatas tentu berbeda dengan gedung yang dengan daya tampung seperti lapangan sepak bola. Dan pemilihan mesjid dengan kapasitas daya tampung aulanya di satu sisi juga menunjukkan 'kelas' dari orang-orang yang sedangan mempunyai hajat. Saya pernah merasakannya saat berkunjung dan datang di acara nikahan teman kantor yang diadakan di Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang. Dan saya juga menanti-nanti acara nikahan kakak saya Bulan Juni nanti yang rencananya akan diadakan di aula Masjid Agung Jawa Timur, Surabaya.Lain masjid lain pula ceritanya. Saat waktu sholat sudah hampir habis, sementara kita masih di jalan, masjid 'seadanya' yang jadi pilihan. Dan karena saya sedang tugas di daerah Jakarta Pusat, saya langsung meminta supir mengarahkan mobil ke Mesjid Cut Mutia. Sebenarnya saya sudah lama tahu keberadaan masjid ini dan sudah lama ingin sholat di dalamnya. Tapi, saat lewat masjid ini, saya sudah sholat dan waktu sholat berikutnya masih lama, sementara saya harus segera berada di tempat lain untuk urusan pekerjaan.Alhasil, keinginan itu belum pernah tersampaikan sampai saat saya merasa 'kebelet' sholat.
MASJID CUT MEUTIA, JAKARTA
Sebenarnya tak ada yang istimewa dari masjid ini selain merupakan masjid dengan arsitektur art deco gaya Belanda dengan jendela dan pintu yang tinggi-tinggi. Ada kesan mewah berbalut klasik sekaligus 'angkuh' karena merupakan warisan kolonial. Namun di sisi yang sama, masjid ini kelihatan terlalu kecil jika dilihat dari letaknya yang berada di kawasan elitis Menteng. Kadang, pantas juga masjid ini tidak terlalu besar (tidak ada penambahan kapasitas daya tampung) karena mungkin (sekali lagi saya katakan mungkin) orang sini jarang yang sholat jamaah di masjid ini. Yang saya lihat justru kebanyakan sopir taksi banyak sekali yang menggunakannya sebagai tempat melepas lelah dan beberapa pengunjung malah terlihat tidur dengan pulasnya. kalau tidak percaya, datanglah ke masjid ini sekitar pukul dua siang. Lantainya akan penuh dengan orang tidur dengan nyenyaknya. Pertanyaannya, apakah di masjid ini tidak ada larangan untuk tidur di dalam masjid?
MASJID RAYA MEDAN

Masjid yang ingin sekali saya datangi sejak SD adalah Masjid Raya Medan. Saya ingin mengunjunginya hanya karena masjid tersebut merupakan gambar sampul dari buku-buku Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam yang saya miliki waktu SD dulu. Rasa-rasanya masjid tersebut kelihatan megah sekali sampai saya ingin merasakan untuk sholat di dalamnya.Memang sih, kalau kita lihat dari luar masjid ini tampah megah dan indah. Tapi coba datang ke sini pas hari Jumat. Entah karena cuek atau kasihan, banyak sekali kesemrawutan yang terlihat di halamannya. Pertama, tentu banyaknya pengemis ini sungguh membuat miris dan prihatin. Setiap saya ke mesjid di suatu daerah untuk sholat Jumat, biasanya pengemis-pengemis itu duduk berderet di sisi luar (kanan kiri) pintu masuk, bukan di halaman masjid. Tapi di sini justru duduknya di pelataran masjid. Jadi, pemandangannya seperti orang lagi jualan sesuatu gitu padahal yang didasarkan adalah kantong-kantong untuk tempat sedekah. Yang kedua, adanya preman penitipan sandal yang mengganggu ketenangan ibadah. Di tempat saya tinggal, sandal atau sepatu di letakkan di sebarang tempat aman-aman saja artinya kecil kemungkinannya untuk dicuri. Tapi kalau di sini, lebih baik Anda membayar uang Rp. 1000,00 rupiah kepada preman atau anak-anak kecil penjaga sandal itu daripada pulang dengan kaki telanjang. Yang ketiga soal kamar mandi dan tempat wudhu. Untuk ukuran sebuah Masjid Raya, masjid ini memiliki toilet dan tempat wudhu yang menyusahkan bagi pengunjung, baik karena keadaannya yang memprihatinkan maupun letak bangunannya yang tidak terintegrasi dengan bangunan masjid. Saya jadi berpikir, betapa tidak nyamannya kalau tiba-tiba saja ada jamaah yang batal wudhunya karena kentut.Satu lagi masjid yang ingin saya datangi sejak kecil. Masjid itu adalah masjid Istiqlal di Jakarta. Masjid ini ingin saya kunjungi karena saya nonton acara video klip adzan magrib di televisi. Rasanya teduh sekali bisa sujud di dalam masjid ini.
MASJID ISTIQLAL, JAKARTA
Dan benar saja, masuk ke masjid ini pertama kali untuk sholat dhuhur, seperti merasakan oase di tengah padang gurung. Rasanya sejuk setelah ditimpa panasnya kota Jakarta.Masjid Istiqlal itu unik, saya tak melihat ada AC di dindingnya, tapi arsitektur bangunannya mengondisikan tempat tersebut memang didesain untuk menciptakan kenyamanan bagi pengunjungnya untuk beribadah tanpa memikirkan betapa panasnya keadaan di luarnya. Tapi, yang membuat tercengang adalah bangunan ini bersebelahan dengan gereja Katolik terbesar di Indonesia. Ini menunjukkan kalau toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi. Kepentingan ibadah kepada Sang Khalik merupakan kepantingan individu yang sesuai dengan keyakinan yang dianut. Tidak boleh ada intervensi, tekanan, atau pemaksaan dari siapapun juga.

Sebenarnya, banyak sekali masjid yang sudah saya kunjungi namun tidak saya sebutkan di sini. Beberapa di antaranya karena 'tak sengaja' saya datangi saat batas akhir waktu sholat segera tiba. Tapi saya juga punya sedikit harap, kalau punya umur panjang dan diberi kesempatan, saya ingin sekali mengunjungi Masjid Agung Surabaya, Masjid Raya Banda Aceh, Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, masjid-masjid di Turki, dan masjid-masjid yang lain. Sepertinya berada di masjid tak ubahnya seperti mencecap surga kecil yang damai. Mungkin, sesederhana itulah kenikmatan surga bagi saya, saat berada di suatu tempat dalam wujud penghambaan kepada Sang Khalik tanpa diliputi perasaan was-was atau ketergesaan. Tapi sebuah perasaan tenang yang menenteramkan hati, membawa ketenangan jiwa.

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...