Friday, June 04, 2010

Episode #5: Artificial Hospitality

Minggu kemarin saya mencoba makan di salah satu restoran Italia yang ada di kawasan BSD City, Serpong. Bukannya mau sok-sokan tapi karena waktu itu hujan deras dan tempat yang nyaman untuk menunggu angkot dan hujan reda adalah di situ, akhirnya saya masuk dan menikmati suasananya. Tempatnya bersih, hangat, rapi, dan enak digunakan sebagai 'tempat ngabur' untuk membaca buku.

Setelah duduk, saya pun disodori buku menu dan segala tetek bengek ucapan selamat datang serta tawaran menu-menu yang menjadi andalan restoran itu. Saya sih senang-senang saja dan merasa terlayani dengan baik, dalam artian kedatangan saya ke situ dianggap istimewa layaknya sambutan untuk seorang raja. Namun demikian, setelah si pelayan tadi meninggalkan meja untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk memilih menu, tiba-tiba saja datang pelayan lain yang juga memberikan keramahan yang sama, menawarkan menu yang sama, menggunakan kalimat yang juga sama (yang sepertinya sudah dilatihkan untuk seluruh pelayan di situ). Saya agak kaget ketika menghadapinya. Begitu si pelayan tadi selesai cuap-cuap dan meninggalkan meja saya, datang lagi pelayan serupa dengan jenis keramahan yang serupa pula. Saya sempat agak bingung dan mau angkat kaki saja dari tempat itu. Maksudnya, saya suka dilayani dengan ramah seperti pelayanan pertama. Namun ketika bentuk keramahtamahan seperti itu dilakukan secara berulang-ulang dalam jeda waktu yang tidak lama, maka yang terasa bukan lagi kenyamanan tapi jadi kebosanan dan kebetean.

Pengalaman kedua terjadi kemarin malam saat saya akan membeli celana pendek di sebuah departement store. Ketika saya datang ke tempat tersebut, mulai dari resepsionis yang ada di depan pintu toko sampai semua mbak-mbak yang akan melayani pembeli di setiap counter merk memberikan keramahan yang layak didapatkan oleh seorang (calon) pembeli. Saya dilayani untuk memilih dan mencocokkan ukuran celana yang pas untuk badan saya. Sampai saat saya akan membayar di kasir ternyata terdengarlah pintu alarm yang menandakan kalau toko tersebut akan segera tutup. Dan mendadak saja, keramahan yang tadi disodorkan kepada saya serempak lenyap dan berubah menjadi kehirukpikukan para karyawan toko tersebut untuk berkemas. Saya pun disuruh untuk menuju ke kasir. Dan anehnya, saat sampai di kasir, komputernya sudah keburu dimatikan. What?

Lain lagi halnya dengan kejadian di atas, saya kerap melihat (atau lebih tepatnya menebak-nebak) karakter orang yang mempunyai sifat muka dua. Catat!!! Bukan bermuka dua dalam arti sebenarnya, tapi menampakkan muka ramah saat ada dihadapan seseorang, tapi mengumpat-umpat saat orang yang bersangkutan tidak ada dihadapannya. Orang-orang yang saya temui mempunyai karakter seperti ini adalah orang yang berprofesi sebagai resepsionis, custumer service, atau pekerjaan semacamnya. Sungguh menyebalkan jika menghadapi manusia-manusia seperti ini.

Sampai suatu ketika saya berpikir, apakah jenis keramahtamahan seperti ini yang lazim ada di dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Dari kecil saya kerap dicekoki pengetahuan bahwa Indonesia merupakan sarangnya orang paling ramah di dunia. Memang, kalau kita berada di suatu daerah pelosok tanah air, mungkin masih menemukan karakter keramahan khas Indonesia yang tulus tanpa pretensi apa-apa. Tapi ketika kita setiap hari bersinggungan dengan kehidupan kota yang kerap mengedepankan sifat individualis, keramahan artifisial mudah sekali kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah penetrasi gaya hidup dan budaya barat dalam sendi-sendi kehidupan di kota modern seperti Jakarta, yang akhirnya ditransfer ke seluruh lapisan masyarakat melalui media komunikasi dan transfer kebudayaan melalui interaksi orang perorang, yang menjadikan sikap keramahan artifisial menjadi sesuatu yang mutlak dan lazim ada dalam ranah pergaulan? Saya tidak tahu pasti, yang jelas keramahan palsu sudah mulai membumi layaknya virus meme yang menyebar secara perlahan-lahan tanpa kita merasa sadar telah terasuki.

Atau malah jangan-jangan Anda sendiri orang yang mempunyai karakter muka dua, menerapkan jenis keramahan artifisial yang sungguh memuakkan. Maka, siap-siaplah untuk mempelajari jenis ilmu baru di dunia ini yaitu ilmu muka dua. Tapi, berdasarkan pengalaman saya, lebih enak menggunakan muka satu, menampakkan keramahan yang tulus dari hati, dan senyum yang (tidak palsu) dibuat-buat. Percayalah, orang akan lebih menyukai Anda membencinya secara terang-terangan daripada menyuguhkan senyum merekah namun palsu sepalsu-palsunya. Akan lebih sakit rasanya. Silakan bereksperiman dengan kehidupan di sekitar Anda.

Gambar dipinjam dari sini.

1 comment:

  1. Barangkali nilai-nilai sufisme perlu dihidupkan kembali. Btw, terkadang tayangan reality show yg menguji kejujuran, sifat belas kasihan, daya sabar seseorang, dll, agaknya jg merupakan bentuk tindakan yg artifisial. Bahkan, mencerminkan antara tipisnya perbedaan antara yg baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...