Maksud penerjemahan itu biasanya didasari oleh keyakinan bahwa isi buku yang bersangkutan memang mempunyai potensi untuk diterima oleh masyarakat luar negeri. Untuk itu, penerjemah yang dipilih selayaknya harus memiliki kriteria paling tidak mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, memiliki kemampuan bahasa asing yang akan menjadi alihbahasa dari isi buku, dan yang paling penting adalah memiliki sense terhadap karya yang akan diterjemahkan. Mengapa hal ini penting? Karena keberhasilan sebuah buku terjemahan ditentukan oleh proses transfer informasi yang berjalan mulus antara isi dalam teks bahasa asli menjadi teks bahasa terjemahan. Maka dari itu, penting bagi seorang penerjemah untuk memiliki nilai rasa bahasa yang akhirnya mampu memberikan warna dari buku yang akan diterjemahkan.
Pengalaman saya menikmati buku-buku terjemahan dimulai dari kisah-kisah Lima Sekawan karya Enid Blyton saat SLTP dulu. Setelah besar, orang-orang seumuran saya akhirnya menikmati buku terkenal Harry Potter. Terjemahan buku-buku Harry Potter di Indonesia menurut saya adalah terjemahan paling bagus untuk kategori novel yang bahasa aslinya adalah bahasa Inggris. Buku tersebut diterjemahkan dengan konsistensi dan menuruti passion dari penerjemahnya yaitu Listiana Srisanti (yang belakangan saya ketahui ternyata sudah sepuh, soalnya bayangan saya itu orangnya masih muda dan cantik, pis mommy, but I love your creativity on translating all Harry Potter's book).
Lain halnya buku bahasa Inggris yang diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia, selama beberapa tahun terakhir saya jadi menyukai buku-buku bahasa Indonesia yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Buku-buku tersebut saya beli dengan satu alasan yaitu meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Saya pikir karena sudah pernah membaca buku versi bahasa Indonesianya maka menikmati buku-buku bahasa Inggris tersebut menjadi semakin mudah. Namun kenyataannya sangat jauh terasa. Setelah menganalis hal-hal yang menjadi kendala (kekurangnyamanan) menikmati buku terjemahan adalah masalah nilai rasa sebuah bahasa.
Maksudnya begini, buku Harry Potter yang bahasa aslinya adalah bahasa Inggris dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia memang dimaksudkan untuk pembaca yang mengerti bahasa Indonesia. Nilai-nilai bahasa terjemahan disesuaikan dengan konsumen yang memang mengerti dan paham berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Hal yang sama juga terjadi untuk buku bahasa Indonesia yang dialihbahasakan ke bahasa Inggris. Buku-buku tersebut memang dari awal ditujukan untuk orang-orang yang mengerti dan paham (memiliki kedekatan personal) dengan bahasa Inggris. Maka dari itu, saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan sederhana tentang mengapa saya agak kurang nyaman membaca buku terjemahan yaitu karena buku terjemahan dibuat untuk dinikmati oleh orang yang memiliki kedekatan personal tadi. Jadi, nilai rasa bahasa yang ditampilkan dalam teks terjemahan tersebut sudah diatur dan disamaratakan sesuai dengan nilai rasa bahasa yang dimiliki oleh si penerjemah buku tadi.
Jendela-Jendela karya Fira Basuki dan versi bahasa Inggrisnya
Saat menikmati buku Fira Basuki yang berjudul Jendela-Jendela, tak ada kesulitan bagi saya untuk memahami maksud dari cerita yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Pesan-pesan yang dalam buku ini disampaikan dalam tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Karena ketiga bahasa tadi memiliki kedekatan personal dengan saya (dalam artian hampir tiap hari saya memakai sebagai bahasa komunikasi) maka hampir tidak ada kesulitan yang berarti untuk memahami maksud dari informasi yang ingin disampaikan oleh Fira Basuki. Bahasa Inggris maupun Jawa diselipkan dalam dialog atau narasi cerita dalam komposisi yang mudah untuk dipahami. Namun ketika saya membaca versi bahasa Inggrisnya, ada sedikit (semacam) miscommunication akibat terjadi perbedaan nilai rasa bahasa. Mungkin karena penerjemahnya adalah orang asing maka nilai rasa bahasa (dan juga tujuan penerjemahan) dalam buku tersebut adalah untuk dinikmati oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pokoknya dalam berkomunikasi.
Tadinya saya berpikir bahwa hal tersebut terjadi hanya pada buku Fira Basuki, ternyata setelah saya membaca buku The Rainbow Troops yang merupakan versi bahasa Inggris untuk novel laris berjudul Laskar Pelangi karya Andrea Hirata hal itu juga saya rasakan. Berarti memang nilai rasa yang ditimbulkan oleh buku-buku terjemahan adalah untuk orang-orang yang bahasa pokoknya adalah bahasa Inggris. Bukan orang yang bahasa pokoknya bahasa Indonesia namun bisa berbahasa Inggris. Tapi bukan pula berarti bahwa buku terjemahan tidak bisa dinikmati oleh orang Indonesia yang mengerti bahasa Inggris.
Untuk menghindari kekurangnyamanan tersebut, saya lebih senang membaca buku dalam versi aslinya asalkan bahasa asli dari buku terjemahan tersebut saya mengerti. Misalnya, ketika dihadapkan pada dua buku yaitu Laskar Pelangi atau The Rainbow Troops maka saya akan langsung memilih Laskar Pelangi. (Saya membeli The Rainbow Troops untuk belajar bahasa Inggris saja, catat!!!). Jika ada buku Harry Potter dan Batu Bertuah dengan Harry Potter and The Philosopher's Stone sebagai sandingannya, maka saya lebih suka menikmati yang kedua. Betapa menariknya buku terjemahan tetap lebih menarik buku-buku versi aslinya. Kita tak perlu ribet mencocokkan nilai rasa bahasa dan tak perlu dibatasi oleh kemampuan bahasa penerjemah.
Saat menikmati buku Fira Basuki yang berjudul Jendela-Jendela, tak ada kesulitan bagi saya untuk memahami maksud dari cerita yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Pesan-pesan yang dalam buku ini disampaikan dalam tiga bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Inggris. Karena ketiga bahasa tadi memiliki kedekatan personal dengan saya (dalam artian hampir tiap hari saya memakai sebagai bahasa komunikasi) maka hampir tidak ada kesulitan yang berarti untuk memahami maksud dari informasi yang ingin disampaikan oleh Fira Basuki. Bahasa Inggris maupun Jawa diselipkan dalam dialog atau narasi cerita dalam komposisi yang mudah untuk dipahami. Namun ketika saya membaca versi bahasa Inggrisnya, ada sedikit (semacam) miscommunication akibat terjadi perbedaan nilai rasa bahasa. Mungkin karena penerjemahnya adalah orang asing maka nilai rasa bahasa (dan juga tujuan penerjemahan) dalam buku tersebut adalah untuk dinikmati oleh orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pokoknya dalam berkomunikasi.
Tadinya saya berpikir bahwa hal tersebut terjadi hanya pada buku Fira Basuki, ternyata setelah saya membaca buku The Rainbow Troops yang merupakan versi bahasa Inggris untuk novel laris berjudul Laskar Pelangi karya Andrea Hirata hal itu juga saya rasakan. Berarti memang nilai rasa yang ditimbulkan oleh buku-buku terjemahan adalah untuk orang-orang yang bahasa pokoknya adalah bahasa Inggris. Bukan orang yang bahasa pokoknya bahasa Indonesia namun bisa berbahasa Inggris. Tapi bukan pula berarti bahwa buku terjemahan tidak bisa dinikmati oleh orang Indonesia yang mengerti bahasa Inggris.
Untuk menghindari kekurangnyamanan tersebut, saya lebih senang membaca buku dalam versi aslinya asalkan bahasa asli dari buku terjemahan tersebut saya mengerti. Misalnya, ketika dihadapkan pada dua buku yaitu Laskar Pelangi atau The Rainbow Troops maka saya akan langsung memilih Laskar Pelangi. (Saya membeli The Rainbow Troops untuk belajar bahasa Inggris saja, catat!!!). Jika ada buku Harry Potter dan Batu Bertuah dengan Harry Potter and The Philosopher's Stone sebagai sandingannya, maka saya lebih suka menikmati yang kedua. Betapa menariknya buku terjemahan tetap lebih menarik buku-buku versi aslinya. Kita tak perlu ribet mencocokkan nilai rasa bahasa dan tak perlu dibatasi oleh kemampuan bahasa penerjemah.
Versi terjemahan dan Versi Asli
PS: Karena buku-buku berbahasa Inggris itu mahal harganya, saya banyak membeli buku terjemahan. Namun, jika sangat ingin membeli buku versi aslinya sedapat mungkin untuk menabung jauh-jauh hari. Supaya bisa kebeli semuanya. Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang penting sesuai budget ya ayuk ajah ;=)
No comments:
Post a Comment