"Tanpa mimpi dan semangat, orang seperti kita akan mati"
Penggalan dialog di atas dikutip dari film Sang Pemimpi, sekuel dari pendahulunya yaitu Laskar Pelangi. Seperti bukunya yang berseri, film ini memvisualisasikan buku kedua dengan judul yang sama dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Masih disutradarai oleh Riri Riza, film ini berkisah tentang keluarga marginal yang bermimpi untuk sekolah setinggi (dan sejauh) mungkin. Seperti digadang-gadang oleh produsernya sebagai film Indonesia yang paling ditunggu di tahun 2009, film ini mengandung petuah, nasihat tentang hidup, khususnya bagi remaja dalam meraih cita-cita.
Film berdurasi 128 menit ini mengambil lokasi syuting di beberapa tempat seperti di Manggar (Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitong), Jakarta, dan Bogor. Fokus cerita ada pada tokoh Ikal (Vikri Septiawan) yang menapaki kehidupan remajanya. Segala permasalahan hidup dunia remaja hadir dalam film ini yang meliputi serunya kenakalan masa sekolah, godaan akan indahnya masa pubertas, sampai dengan perenungan akan pencarian jati diri. Masa-masa SMU yang katanya merupakan masa yang menentukan arah kehidupan seseorang diceritakan dengan bumbu komedi dan sedikit animasi yang mendukung film tersebut.
Di dalam film ini, tak ada lagi cerita tentang anggota Laskar Pelangi. Ikal remaja kali ini didampingi oleh sepupu jauhnya yang hidup sebatang kara sehingga disebut sebagai simpai keramat bernama Arai (Rendy Ahmad). Arai digambarkan sebagai orang yang riang, kadang misterius namun berhati emas. Ia menjadi pendorong semangat bagi Ikal. Membawanya mengurai mimpi-mimpi dan menambatkan harapan. Arai mengajarkan kepada Ikal pentingnya mempunyai mimpi setinggi langit dan bekerja keras mewujudkan mimpi tersebut. Alasannya seperti yang termaktub dalam kutipan di awal tulisan ini. Begitu sederhana. Sangat urban. Dan tentu saja, sarat makna yang mendalam.
Selain kedua tokoh tersebut, ada tokoh ketiga yaitu Jimbron (Azwir Fitrianto), manusia unik yang sangat terobsesi dengan kuda. Kuda baginya merupakan hewan yang sangat luar biasa, sampai-sampai obsesi terbesarnya ketika masih kecil adalah menjadi kuda. Trio sang pemimpi di atas mengajak kita bertamasya dalam kehidupan miskin Belitong era tahun 80-an.
Ketiga tokoh inspiratif di atas berkumpul dalam suatu SMU Negeri yang akhirnya mempertemukannya dengan Pak Balia (Nugie Nugraha) yang melecut mimpi mereka untuk membangun harapan menjelajahi Eropa sampai Afrika, menuntut ilmu di Universitas Sorbonne Paris, Perancis, tempat belajarnya orang-orang hebat di muka bumi. Namun, kenyataan akan keadaan membuat mereka berpikir ulang akan mimpi tersebut. Ditambah lagi ayah Ikal yang merupakan tulang punggung bagi Ikal dan Arai mendadak dipensiunkan dari pekerjaannya sebagai kuli oleh PN Timah akibat harga timah yang turun di pasaran dunia.
Seperti bukunya, film ini dibangun dari mozaik-mozaik kehidupan Ikal remaja dalam bentuk sebuah memoar. Penonton disuguhi oleh kepingan-kepingan peristiwa yang akhirnya membawa ke pokok persoalan cerita. Sebagai sebuah bangunan sinema, Sang Pemimpi hadir mengobati kerinduan akan tema-tema pendidikan, kemiskinan, dan filsafat kehidupan dalam khasanah film Indonesia setelah lebih dari setahun yang lalu menikmati Laskar Pelangi.
Riri Riza sebagai seorang sutradara berhasil memvisualisasikan cerita di buku untuk menghadirkan keadaan Belitong awal tahun 80-an lengkap dengan kondisi sosiologis kultural penduduknya. Film ini sarat akan pesan moral tidak hanya bagi kaum muda tetapi juga bagi siapa saja untuk berani bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi kenyataan. Film ini juga memberikan masukan bagi para guru untuk selalu setia sepenuh hati memberikan pengajaran terbaik bagi murid-muridnya dengan pelajaran budi pekerti dan pembangunan mimpi. Metode pengajaran yang bersahabat seperti dilakukan Pak Balia layak dijadikan teladan dalam merevolusi sistem pengajaran ortodok dan penuh kekerasan seperti dilakukan oleh Pak Mustar (Landung Simatupang) yang berpendapat bahwa hukuman adalah langkah yang harus diambil untuk menangani anak-anak bandel seperti trio sang pemimpi ini. Pendidikan yang baik bagi murid dan pembentukan karakter bangsa juga bisa berawal dari bangku sekolah. Oleh karena itu, guru juga merupakan faktor yang tak kalah menentukannya bagi kelangsungan perkembangan peradaban suatu bangsa.
Jika ada yang kurang dari film ini adalah beberapa scene yang agak membosankan dan terkesan berlama-lama. Adegan hening antara Pak Balia dan Pak Mustar saat berpapasan akan pulang sekolah merupakan adegan yang tidak perlu atau paling tidak terlalu lama penampilannya. Ada juga kecerobohan kecil tentang pemilihan peran. Ada pemain ibu-ibu yang yang dulu berperan sebagai juri cerdas cermat di film Laskar Pelangi, tiba-tiba di film ini menjadi petugas administrasi kenaikan pangkat bagi para kuli PN Timah. Kesalahan-kesalahan kecil tersebut mungkin saja luput dari kinerja sutradara dan segenap krunya. Ada juga kesalahan yang agak fatal mengenai fakta bahwa Arai merupakan lulusan Universitas Indonesia. Di buku diceritakan bahwa Arai adalah lulusan dari Jurusan Biologi Universitas Mulawarman. Sebagai sebuah cerita memoar harusnya fakta-fakta kecil seperti ini tidak boleh diubah. Namun, sebagai jalinan dari keseluruhan hasil karya kreatif, rasanya tidak berlebihan jika Sang Pemimpi dinobatkan sebagai film Indonesia terbaik tahun ini. Film yang mengajak penontonnya untuk berani bermimpi.
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
No comments:
Post a Comment