Di situlah saya bertemu langsung dengan Andrea Hirata. Kesan pertama yang saya tangkap bahwa sosoknya memang cerdas dengan diksi yang dia pilih sebagai bahan obrolan singkat kami. Tak ada yang istimewa dalam pertemuan tersebut, mengingat waktu yang tersedia juga tidak mengizinkan kami menguasai obrolan tersebut sendirian dengan sang narasumber. Setelah berbincang-bincang singkat, menandatangani buku, dan berfoto, Andrea Hirata akhirnya meninggalkan kelompok kami dan melanjutkan wawancara dengan beberapa rekan wartawan yang lain.
Hangat, singkat, dan inspiratif. Itulah rasa yang saya peroleh saat bertemu langsung dengan penulis kelahiran tanah Belitong ini. Rasa yang menumbuhkan hasrat serupa untuk menghasilkan suatu mahakarya.
Sejumput intuisi, sejuta inspirasi, dan segenap semangat mendorong saya untuk menghasilkan sebuah karya. Sebuah tantangan telah muncul di depan mata. Saya sadar bahwa kegiatan menulis merupakan sebuah kerja keras yang akan menguras energi dan waktu. Dua hal paling berharga untuk manusia-manusia sosialita yang sudah mencicipi manisnya kota Jakarta. Selain itu, menurut saya, menulis merupakan sebuah kegiatan intelektual yang berdisiplin.
Tak akan pernah lahir suatu karya tanpa kerja keras dan keseriusan dalam berkarya. Dan yang lebih penting, tak akan pernah ada suatu karya tanpa kita sadar untuk duduk dan mulai menulis. Untuk yang terakhir ini, saya sadar akan konsekuensi yang akan saya hadapi karena waktu merupakan sebuah kemewahan, maka akan ada sejuta alasan untuk menghadirkan keheningan, akan ada pengurangan momen kebersamaan, dan tentunya akan semakin dekat pada apa yang disebut sebagai hasil suatu keteguhan dari proyek realisasi mimpi.
waw...
ReplyDeletesuatu keberuntungan bis bertemu dengan sang penulis novel sedahsyat andrea hirata....
selamat ajah deh...
btw selamat udah menang lomba resensi di gagas media yah...
Penulis bisa jadi artis, ya...
ReplyDelete