Monday, September 14, 2009

Meet and Greet with Dewi 'Dee' Lestari

Akhirnya kesempatan itu datang juga. Kesempatan untuk bertemu dengan seseorang yang piawai dalam menulis. Seseorang yang sebelumnya hanya saya kenal lewat karya-karyanya baik dari buku, mp3, atau dari berita-berita di televisi maupun surat kabar. Seseorang yang selalu saya ikuti tulisan-tulisannya di blog. Seseorang yang merupakan salah satu penulis favorit saya dari Indonesia selain Andrea Hirata, Ayu Utami, dan Pramoedya Ananta Toer. Seseorang yang kehadirannya terasa nyata sehingga menisbikan hubungan di dunia maya bisa mewujud dalam alam realitas. Seseorang itu adalah Dewi 'Dee' Lestari.

Bertempat di Ruang Serba Guna, Gramedia Matraman, Jakarta, saya dapat bertemu langsung dengan Dee--nama pena Dewi Lestari. Kalau penulis sekaliber Dee pernah menulis di blognya tentang pertemuannya dengan Vikram Seth sebagai A Night with Vikram, saya sebagai seseorang yang baru mulai berkarya merasa cukup ketika berada di level saat ini menyebut pertemuan dengan Dee sebagai An Afternoon with Dee. Seperti biasa, keinginan saya untuk datang ke acara tersebut didasari oleh keinginan untuk mendapatkan tanda tangan pada buku-buku karyanya yang sudah saya miliki.



Adie, Dee, Buku-Buku, dan Sebuah Buku Testimonial Penulis ;=)


Adie dan Dee, sama-sama suka membaca dan menulis ;=)

Awalnya saya malas untuk datang karena jarak yang harus saya tempuh cukup jauh yaitu dari BSD City, Serpong ke Jakarta dan harus ganti tiga kendaraan dengan trayek yang berbeda. Belum lagi kemacetan yang tidak terdeteksi kapan datangnya. Selain itu, ini adalah bulan Ramadhan. Dan apakah yang lebih membuat malas keluar rumah jika perut lapar, panas yang menggila, dan kemacetan bereuni jadi satu?

Tapi apa boleh buat, siaran radio Hard Rock Fm beberapa hari sebelumnya mengatakan bahwa Dee akan cuti beberapa bulan untuk melahirkan. Artinya, acara tersebut akan menjadi akhir roadshow bukunya sebelum masa cuti. Dan artinya pula, semakin kecil kemungkinan saya untuk bertemu dan minta tanda tangan karena kita tak pernah tahu apa yang terjadi esok hari yang sangat mungkin terjadi benturan kepentingan dan jadwal kegiatan. Tiba-tiba dorongan untuk berangkat mendadak sangat besar. Akhirnya berangkatlah saya menuju Gramedia Matraman. And guess what? Tol Jakarta-Tangerang sangat bersahabat alias lancar jaya. Panas matahari tertutup awan mendung dan angin bertiup meneduhkan. Saya merasa alam sedang berencana untuk memudahkan jalan saya bertemu Dee.

Ketika saya sampai di Gramedia Matraman, semua panitia dan Dee sendiri sudah ada di tempat dan sedang menyiapkan penampilannya. Beberapa saat kemudian, acarapun dimulai. Sebenarnya, seperti sebuah acara jumpa penulis yang saya datangi, acara tersebut biasa saja, namun bobot pembicaraannya yang menurut saya berbeda. Dee, seperti biasa, dengan lugas dan lancarnya berbicara, menjawab pertanyaan dari moderator, dan beberapa pertanyaan dari peserta yang hadir, termasuk saya sendiri, dengan sedikit-sedikit membumbui dengan kalimat-kalimat filosofis yang menyejukkan dan menginspirasi, dan tentu saja tak lupa menyanyikan lagu Perahu Kertas sebagai pencair suasana.

Kalau saya pikir, memang begitulah tugas seorang penulis sejati. Ungkapan bahwa seorang penulis dianggap mati ketika karyanya diterbitkan saya rasa kurang pas. Justru, seorang penulis harus mampu berdiri tegak dan menjembatani sebuah karya yang diciptakannya agar dipahami oleh sidang pembaca. Sebuah karya yang menurut Dee disebut 'anak jiwa' harus dituntun, diantarkan, untuk kemudian dilepaskan ke sidang pembaca sehingga memberikan kesan bahwa karya tersebut memang siap berinteraksi di tangan khalayak. Dari sini sebenarnya kita bisa belajar sebuah proses bisnis dan keterampilan berkarya. Kombinasi dari keduanya merupakan rumus ampuh untuk membuat sebuah karya diterima dengan baik oleh sidang pembaca yaitu karya yang bagus dan bermutu serta promosi yang terencana.

Dari pembicaraan dengan Dee di acara tersebut, saya juga belajar satu hal tentang menulis. Jika seseorang memang berencana untuk menjadi penulis, mulailah dengan menjadi pengamat yang baik. Penulis yang baik adalah juga pengamat yang baik. Amati segala hal termasuk yang remeh temeh sekalipun. Hal-hal yang menurut penglihatan orang lain dianggap bukan barang berharga, justru di situlah sebenarnya mutiara-mutiara ide yang berkilauan menunggu untuk dijumputi oleh orang yang peka dalam mengamati. Wow, you know my prend, I think I'm on the right path karena beberapa orang teman dan orang-orang terdekat menganggap saya aneh dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang saya lakukan demi melancarkan kegiatan saya dalam menulis seperti membuat kliping dan mengumpulkan nama-nama yang akan saya pakai sebagai nama karekter dari cerita yang akan saya tulis. Tapi, karena dari sononya memang sudah terlahir sebagai manusia super cuek, saya tidak begitu peduli dengan pandangan-pandangan tersebut.

Akhirnya, tibalah pada acara book signing. Ini juga menjadi hal yang lucu buat saya. Kepulangan saya terakhir kali ke rumah orang tua, sebelum kembali ke Jakarta lagi, seperti ada yang mendorong-dorong untuk membawa buku-buku Dee yang sudah saya miliki. Hati saya seakan berbisik, "Bawa saja, siapa tahu kali ini bisa ketemu langsung dan minta tanda tangan kepada Dee." Pada kesempatan yang lain, saat saya jalan-jalan di pasar murah, saya menemukan buku Supernova: Akar dengan lambang Om Kara di sampulnya yang saya cari kesana kemari di toko-toko buku terkenal dan terlengkap di Jakarta, ternyata tersembunyi di balik tumpukan majalah-majalah bekas dengan kondisi masih baru pula. Kalau dipikir-pikir, you know, it was really like a message from the universe. Segala sesuatunya seperti bersatu dan terkomando oleh suatu perintah alam semesta bahwa memang kali inilah kesempatan saya untuk bertemu dan memperoleh tanda tangan dari Dee.


Koleksi buku saya, semuanya bertanda tangan Dee


Ini salah satu tanda tangan Dee di buku Perahu Kertas

Kali ini memang saya patut bersyukur bahwa dari sekian peserta yang hadir di acara tersebut yang umumnya mendapat satu atau dua tanda tangan, saya sendiri mendapatkan tujuh tanda tangan. Enam di buku karya Dee dan satu di buku testimonial kumpulan tanda tangan dari penulis-penulis yang pernah saya jumpai. Termasuk di antaranya Andrea Hirata, Djenar Maesa Ayu, Nova Riyanti Yusuf, Habiburahman El Shirazy, Kurnia Effendi dan lain-lain. Saya seperti menyaksikan mereka semua hadir begitu dekat dengan saya, tidak di atas panggung, tapi di dalam sebuah buku testimonial yang sederhana. Di buku testimonial itu, Dee menulis: SEMOGA MENJADI DIRI TANPA BERPUTAR DULU. Sungguh filosofis karena isinya berkebalikan dengan nasib dari tokoh-tokoh dalam novel Perahu Kertas di mana dituliskan bahwa mereka harus "berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi menjadi diri kita lagi."


Buku Testimonial Tanda Tangan Penulis dengan tanda tangan Dee di antaranya ;=)

Selanjutnya ada foto bersama. Satu hal yang akan membuat teman-teman dekat saya berteriak histeris 'tttiiidddaaakkk' secara berlebihan karena berkeinginan untuk bertemu Dee juga namun terhalang oleh samudera yang luas membentang. "Apa boleh buat teman, malaikat juga tahu aku sudah dipertemukan dengan Dee. Jangan ngiri ya, suatu saat kesempatan itu akan datang untukmu."

Setelah selesai minta tanda tangan dan foto bersama, saya duduk-duduk sebentar, menata buku-buku saya ke dalam tas, sambil menunggu waktu berbuka puasa. Beberapa dari yang hadir tampak mengamati saya dan agak terheran-heran bahwa saya mendapatkan tanda tangan untuk semua buku-buku Dee yang saya miliki. Mereka juga heran melihat buku-buku saya semuanya bersampul rapi tanpa lipatan padahal semuanya sudah terbaca paling tidak dua kali. Bahkan untuk Supernova KPBJ dan Akar serta Filosofi Kopi sudah dibaca paling tidak lima kali, tapi masih terlihat baru. Itulah sebenarnya yang harus dilakukan oleh seorang pembaca buku yang baik yaitu memperlakukan sebuah buku layaknya mitra, bukan budak. Jadi harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga isinya bisa terserap tanpa merusak fisik dari buku tersebut agar berfungsi secara berkelanjutan bagi generasi-generasi mendatang.

Saya selalu berpandangan bahwa buku seharusnya berada di tangan yang paling bisa menghargainya dan tidak hanya diletakkan tanpa dibaca, mengumpulkan debu dalam almari yang terlupakan. Setelah selesai semua, tibalah waktu berbuka puasa. Saya pun segera berbuka dan sholat maghrib kemudian pulang. Di perjalanan pulang dari Jakarta ke BSD City, Serpong, saya menyadari satu hal, tol Jakarta-Tangerang yang tadi siang ketika saya berangkat, macetnya minta ampun sampai kelihatan parkir dari Lippo sampai dengan pintu tol Karang Tengah, malam itu lancar jaya tanpa hambatan. Wow, my prend, life can be pretty amazing sometimes. Sepertinya hari ini, satu semesta sedang tersenyum tulus kepada Adie Riyanto untuk bertemu dengan Dewi 'Dee' Lestari. Alhamdulillah semua berjalan lancar.


PS: Kalau suatu saat mbak Dewi membaca tulisan ini, saya ingin berterima kasih sekali lagi untuk semuanya dan semoga account Facebook saya segera di-approve secepatnya (sudah empat bulan awaiting confirmation mbak hehehe thanks ;=0 )

1 comment:

  1. dunia sudah benar-benar menuntunmu mennuju impianmu di..ayo lanjutkan..

    "teringat pas kamu bisa ketemu andrea hirata sama rio lewat sebuah proses yang panjang..the universe has really supported you.That's not by a chance, but a destiny lead by your enthusiasm"

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...