Setelah ditunggu-tunggu kehadirannya dalam versi cetak, buku ke-6 Dewi 'Dee' Lestari yang diberi tajuk Perahu Kertas akhirnya menyapa pembacanya di toko-toko buku. Buku yang sebelumnya pernah diedarkan dalam format WAP oleh sebuah perusahaan content provider tersebut menjelma menjadi sebuah wujud yang nyata dalam bentuk print out atas kolaborasi dari penerbit Bentang Pustaka dan Truedee.
Bila selama ini Dee hadir dan dikenal karena kepiawaiannya merangkai kata dan mengkombinasikannya dengan sains, memfilosofikan suatu kesederhanaan menjadi sesuatu yang menggugah kesadaran, kali ini ia hadir dengan sesuatu yang sedikit berbeda. Dalam Perahu Kertas, Dee tampil dengan bahasa yang ringan, cenderung nge-pop, dengan cerita yang sangat filmis dan penuh drama.
Dari total 444 halaman yang terbagi dalam 46 episode dan setidaknya 85.000 kata ini, ada satu kalimat yang menjadi titik berat pembacaan saya atas novel ini. Sebuah kalimat yang setidaknya dapat merangkum sebuah proses menuju pencapaian sesuatu. Kalimat itu tercantum dalam halaman 46 yaitu 'berputar menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.'
Konsep berputar, bertransformasi menjadi sesuatu yang lain untuk akhirnya menjadi diri sendiri lagi sepertinya tercermin pada diri Dee di Perahu Kertas. Ada semacam sisi Dee yang lain, yang meminta untuk dieksekusi menjadi suatu karya nyata, menunjukkan bahwa daya kreativitas Dee mencakup sisi yang sangat luas. Ia tidak saja membuktikan bahwa seorang penulis tidak seharusnya terkungkung dalam suatu genre atau gaya penceritaan dengan diksi dan bahasa sastrawi yang cenderung melangit. Bahwa penulis harus bebas, mampu menyentuh pembacanya, baik dengan bahasa sastra maupun dengan bahasa populer yang lebih membumi. Melalui Perahu Kertas, Dee berusaha bertransformasi untuk membuktikan hal tersebut.
Sama seperti Dee, tokoh-tokoh dalam Perahu Kertas adalah manusia-manusia yang berada di persimpangan jalan, berusaha menemukan hidup mereka, menemukan peran yang sesuai dalam kehidupan, mencari jati diri, yang tak jarang dalam prosesnya harus bertransformasi menjadi sesuatu yang bertentangan dengan kehendak yang dituntun nuraninya. Ada Keenan, remaja dengan talenta melukis yang luar biasa, mencoba berdamai dengan keinginan ayahnya untuk menempuh pendidikan ekonomi di salah satu universitas di Bandung (hal. 11), yang akhirnya memilih untuk mengikuti suara hatinya dan berusaha untuk menjemput impiannya menjadi pelukis, berkumpul dengan seniman-seniman lukis di Ubud, Bali (hal. 198). Dan ada Kugy, remaja eksentrik dengan bakat menulis dan obsesinya menjadi juru dongeng harus berdamai dengan diri pribadi dan menyadari bahwa hidup belum berpihak kepada dirinya (hal. 207). Untuk menyiasatinya, Kugy membuat suatu dunia imaji sendiri dengan mengirimkan uneg-uneg hatinya melalui pesan yang dikirimkan kepada Neptunus dalam sebuah perahu kertas.
Kedua tokoh tadi dipertemukan dan disubstitusi dengan kehadiran tokoh-tokoh seperti Eko (sepupu Keenan), Noni (sahabat Kugy dari kecil dan ceweknya Eko), Wanda (kurator muda yang dicomblangkan kepada Keenan oleh Eko dan Noni). Konflik kepentingan, perbedaan prioritas dalam menjalani kehidupan, kenangan masa lalu yang membekas dan membeku menjelma dendam, dan solusi alternatif yang melingkupi tokoh-tokoh di atas, hadir lewat karakter-karakter seperti Ojos (a.k.a. Joshua, kekasih Kugy), Poyan dan Luhde (orang-orang yang menjadi keluarga Keenan di Bali), Lena dan Adri (orang tua Keenan), dan Remigius Aditya (bos Kugy yang akhirnya menjadi pacarnya setelah Kugy putus dengan Ojos).
Karakter-karakter di atas berinteraksi, berhubungan satu sama lain, menciptakan jaring laba-laba yang seolah-oleh ruwet namun mudah terurai. Dari sini kita dapat melihat kepiawaian Dee menciptakan kompleksitas dalam alur cerita untuk kemudian menguraikannya secara perlahan dan hati-hati sehingga mengisyaratkan bahwa tokoh-tokoh yang hadir semuanya memiliki peran dalam bangunan cerita dan bukan sebagai figuran asal tempel. Walaupun Perahu Kertas terkesan sebagai kisah cinta yang biasa-biasa saja, kita akan selalu menemukan Dee dalam kepiawaiannya berfilosofi dan bermetafora dalam bercerita, menyembunyikan misi di balik diksi, dan menyematkan pesan ke dalam perasaan.
Proses Kreatif
Membaca sebuah buku sama halnya seperti mencoba berkenalan dengan karakter penulisnya. Menurut Budi Darma, Guru Besar Sastra dari Universitas Negeri Surabaya, dalam bukunya yang berjudul "Bahasa, Sastra, dan Budi Darma" mengatakan bahwa pengarang yang baik adalah pengarang yang mampu menggunakan intuisinya sebagai daya serap, intelektualitasnya sebagai daya rancang, dan kejernihan logikanya sebagai daya seleksi dalam mengolah ide menjadi bangunan cerita yang utuh. Menurut hemat saya, Dee berkualifikasi atas karakter-karakter yang disebutkan oleh Budi Darma di atas. Hal itu dapat kita lihat dalam blog proses kreatifnya dalam menciptakan Perahu Kertas. Blog tersebut dibuat sebagai suatu open kitchen yang mengiringi proses kreatifnya dalam menjalankan 'proyek bunuh diri'-nya itu.
Dari blog tersebut dapat diketahui bahwa kedisiplinan adalah kunci dari kesuksesan. Keberanian berspekulasi adalah langkah yang layak dipertaruhkan demi sebuah aktualisasi diri. Dan pada akhirnya, kehadiran sebuah buku hanya akan ada dari kesetiaan dan kerja keras dari seorang penulis untuk secara serius duduk dan menulis.
Dari blog tersebut juga kita akan tahu kesibukan Dee selama proses penulisan Perahu Kertas, ada banyak jeda, ada peralihan kerja, ada pembagian waktu, dan ada pengorbanan yang harus dibayar. Kadang saya berpikir bahwa Dee kurang fokus dalam mengerjakan Perahu Kertas karena beberapa kali harus diinterupsi dengan proyek-proyek kreatifnya yang lain. Dee terlalu banyak berspekulasi dengan waktu. Namun demikian, sebagai sebuah karya yang layak diapresiasi, Perahu Kertas hadir ke hadapan kita dalam keadaan yang boleh dibilang sangat siap untuk terbit. Hal ini terlihat dari sangat minimnya terjadi kesalahan ejaan atau salah cetak. Dua kali diterbitkan oleh operator seluler, saya yakin Perahu Kertas telah mengalami modifikasi dan perbaikan di sana sini sebagai bagian dari penyempurnaan kemasan.
Salah satu cara bagi saya untuk menilai kualitas karya dari seorang penulis selain dari isinya adalah dari kebenaran ejaan dan kebakuan bahasa sesuai dengan peruntukannya. Hal ini menunjukkan kinerja dan keseriusan dari tiga elemen yaitu penulis, editor, dan penerbit. Dan sungguh suatu kejutan, di antara karya-karya Dee, Perahu Kertas adalah karyanya yang sangat minim terjadi kesalahan penulisan dan ejaan.
Menyangkut isi, pada suatu kesempatan Dee membahas tentang karakter Kugy. Menurutnya tokoh tersebut merupakan representasi dari dirinya yang sampai saat ini belum kesampaian untuk membuat cerita anak-anak. Bagi saya pribadi, tokoh Kugy sangat unik dan lain. Kugy mengingatkan saya pada Strowberry, tokoh utama sebuah sinetron dengan judul serupa yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta sekitar tahun 2000-an dengan pemerannya adalah Rachel Maryam. Dan bukan sebuah kebetulan jika sutradara sinetron tersebut adalah saudara Dee sendiri yaitu Key Simangunsong. Saya rasa ada semacam keterhubungan antara keduanya.
Inilah sedikit dari ulasan mengenai novel terbaru Dee. Perahu Kertas, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya mampu menyihir para pembacanya untuk tertawa, menangis, terharu, jengkel, dan berbagai macam kesan yang menggantung di perasaan untuk secara sadar hanyut dalam cerita. Sebagai sebuah buku, saya rasa Perahu Kertas layak untuk dijadikan parsel lebaran Anda tahun ini, bukan sekadar sebagai koleksi tapi lebih kepada sebagai sebuah sarana untuk menebarkan Cinta. Karena itulah sebenarnya esensi dari perahu kertas yang dilarungkan oleh Kugy kepada Neptunus, yaitu mengirim pesan-pesan cinta. Dan tak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini selain hidup dalam keadaan yang selalu diliputi cinta. Walaupun pada akhirnya Perahu Kertas hanya akan bergoyang sendirian ....
... menanti untuk dibaca.
PS: Baru saya sadari, inisial nama blog saya sama dengan inisial judul embrio Perahu Kertas yaitu KK. Kugy dan Keenan. Keajaiban Kata. Mungkin Perahu Kertas berisi kata-kata ajaib yang membangkitkan. Oleh karena itu, layak bersemayam di blog ini ;=)
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
Terima kasih Adie,
ReplyDeleteSungguh satu catatan yang berkesan (dan juga apik). Terima kasih juga sudah hadir di Matraman waktu itu. Saya baru tahu kamu melakukan perjalanan dari BSD (hehe, sama dong!).
Selamat merayakan Hari Raya. Sekali lagi terima kasih untuk 'parsel'-nya!
~ D ~
whoa .... akhirnya berkenan juga mampir di blog saya, sungguh suatu kehormatan.
ReplyDeleteDitunggu karya-karya selanjutnya mbak, semoga suatu saat kita bisa duduk satu panggung, hehehe ;=)
Lho? Mbak Dewi tinggal di BSD juga, di mana? Wah musti dicari ni, biar tidak capek-capek kalau mau minta tanda tangan lagi. Atau jangan-jangan kita sebenarnya tetanggaan tapi tidak menyadarinya?
Btw, terima kasih ucapannya, terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak. Semoga tidak bosan.
Salam hangat!!!
~Adie~
Setiap kali membaca tulisanmu terutama resensi, maka aku dapat melihat detail yang tajam tapi tak berlebihan. Apalagi ditunjang dengan bahasa yang "renyah"akan memudahkan pembaca dalam menikmati proses membacanya,,,
ReplyDeleteI'm proud of you buddy, =)
Wah, Sdr. Adi, memang pecinta buku sejati...
ReplyDeleteWalah Penggemar tulisan - tulisan Dewi Lestari juga tho :).
ReplyDeleteSalam Kenal
Adhit
http://blog.ngaturduit.com