Monday, December 22, 2008

Cerita tentang Ia

Ia muda. Ia tampan. Ia kaya. Kulit 23 tahunnya mengisyaratkan tak ada pergolakan hidup yang berarti dalam dirinya. Sekalipun menjadi idola, tak terbersit dalam benaknya untuk membenamkan diri pada hal-hal yang miskin makna. Ia mencintai keheningan. Ia merindukan kesunyian. Dan tak jarang, ia mengamini apa yang disebut sebagai penyatuan alam dengan pikiran. Reuni yang ia lakukan dengan Tuhan lima kali sehari bukanlah dianggap sebagai kewajiban. Ritual tersebut merupakan sebuah upacara pribadi sebagai wujud penghambaan dan kesyukuran atas kasih Tuhan yang tiada hentinya mengalir.

Ia berbeda. Ia gila. Ia tak biasa. Ketakbiasaan dalam menghadirkan sesuatu yang belum diterima dari suatu kebiasaan menerima yang biasa menyebabkan kewarasannya dipertimbangkan. Kegilaan pada hal-hal tertentu yang tak terlalu menarik bagi orang lain membuatnya semakin menjadikan 'beda' segalanya. Tapi ia percaya. Intuisi dalam dadanya takkan berhenti membisikkan sejuta asa yang mengancam untuk diapresiasi. Sekalipun sulit dilaksanakan, ia berani mencoba. Itulah yang membuatnya berbeda. Mencoba melakukan sesuatu yang biasa dengan cara-cara yang tidak biasa. Itulah yang membuatnya menjadi luar biasa. Keluarbiasaan yang tak ingin ia tampakkan secara serampangan. Ia pandai membungkusnya dengan rapi dalam sebuah jubah kesederhanaan.

Ia murah senyum. Ia banyak teman. Senyumnya selalu mengembang di mana pun ia berada. Karena memang ia orang gila. Dan kegilaanya pada suatu hubungan yang hakiki, menjadikannya sangat menghargai sebuah hubungan persahabatan. Tak jarang ia menemukan sahabat sejati. Sahabat yang tak hanya ikut bersorak atau sekadar tertawa ngakak saat ia bahagia. Sahabat yang selalu sedia dalam suka maupun duka. Karena baginya, seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya dia memberanikan diri menegur apa adanya. Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan kecupan tapi berusaha untuk menyatakan apa yang sangat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya bersedia berubah. Persahabatannya diwarnai dengan berbagi pengalaman suka dan duka, dihibur dan disakiti, diperhatikan dan dikecewakan, didengar dan diabaikan, dibantu dan ditolak. Namun ia percaya, semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian. Apa yang ia alami demi sang sahabat terkadang melelahkan. Kadang pula sangat menjengkelkan. Tapi itulah yang membuat persahabatannya mempunyai nilai yang indah dan damai.

Namun demikian, tak jarang pula ia menemui sahabat 'palsu'. Sahabat yang bermanis-manis di depannya layaknya bayi yang harus ditepuk pipinya dengan lembut namun berteriak dan menyerukan serapah di balik punggungnya.

Ia biasa saja. Ia tidak marah. Ia tidak sedih. Ia percaya dan menghayati pesan salah satu sahabat baiknya. Bahwa orang bahagia tak harus tertawa, orang sedih tak harus menangis, tapi orang hidup harus bersyukur. "Sungguh pesan yang sangat bijak", kata ia dalam hati. Baginya sebuah persahabatan yang manis terlalu berharga untuk diracuni dengan secuil prasangka. Karena ia percaya bahwa besarnya kekuatan cinta takkan pernah dikalahkan oleh kekuatan apapun. Ia akan selalu menebarkan cinta kasih terhadap sesama. Karena ia cinta pada kedamaian. Karena ia cinta pada keheningan. Karena ia cinta merajut jaring-jaring kebebasan.

Sebuah jiwa merdeka yang membuat ia nyaman bersemayam.

1 comment:

  1. Cukup Bagus..Saya akui cukup keren sebagai penulis yang bisa dibilang amatiran..yah cukuplah bekal buat nerbitin buku..tapi kalo secara substansi,saya tidak setuju kalo si "Ia" merefleksikan diri sang Penulis, suatu bentuk Kebohongan yang Paling Hina. Seorang Penulis yang Baik harus jujur bagi para Pembacanya.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...