Cuti. Pengen sekali sebenarnya mengambil cuti. Tapi semua mengandung konsekuensi. Sejak resmi menjadi abdi negara, perkara cuti menjadi sesuatu yang sangat krusial bagi saya. Paling tidak, menjadi sedkit ribet untuk mengatur jadwal. Sudah menjadi aturan yang baku bahwa dalam satu tahun, seorang pegawai mempunyai hak cuti sebanyak 12 hari. Tapi, tunggu dulu. Dari 12 hari itu tidak boleh diambil sekaligus dan jumlah itu masih harus dikurangi dengan jumlah cuti bersama sebanyak 3-4 hari dalam. Jadi, sebenarnya dalam satu tahun, seorang pegawai hanya mempunyai 7-8 hari cuti yang bisa diambil atas kemauan sendiri.
Saya katakan demikian karena cuti bersama itu menurut saya sangat tidak fair. Pasalnya, sebenarnya kita tidak ingin cuti tapi dipaksa untuk cuti. Saya agak kurang suka dengan sistem ini karena cuti yang saya miliki jadi terasa sangat terbatas kalau diitung-itung. Pertama, saat liburan Idul Fitri adalah saat yang sangat nyaman untuk kumpul-kumpul dengan keluarga dan teman-teman (yang kebetulan satu agama dan mempunyai pemikiran serupa). Saya suka jika harus berlama-lama liburan Idul Fitri. Inginnya tidur seharian di rumah, jalan-jalan naik sepeda ke hutan atau keliling bukit, baca buku, nonton VCD, atau ngobrol dengan saudara-saudara. Parahnya, saya harus (terpaksa) membatasi cuti saya karena kepentingan-kepentingan lain yang sifatnya insidental atau adanya kepentingan untuk menuruti alter ego saya sebagai seorang remaja akhir yang suka traveling.
Itulah mengapa saya sangat tidak suka dengan konsep cuti bersama. Jika tidak ada cuti bersama, paling tidak saya punya 2-3 hari jatah cuti yang bisa saya manfaatkan sesuai dengan keinginan saya sendiri. Sebenarnya alasannya sederhana. Saya ingin mengikuti acara summer course di Belanda yang biasanya diselenggarakan tiap bulan Juli setiap tahunnya. Lama kegiatan tersebut adalah 2 minggu. Maka paling tidak saya harus punya tabungan cuti sebanyak 10 hari. Karena pengambilan cuti tidak boleh dilakukan sekaligus, maka saya harus punya jatah cuti lebih dari 10 hari. Ribet kan.
Tambah lagi ini. Saya punya teman yang suka traveling juga. Dia itu inginnya traveling harus waktu yang lama. Sementara saya bisanya hanya pas akhir pekan saja. (Saya tidak ingin buang jatah cuti saya hanya untuk kelayaban yang gak jelas. Catat!!!). Dan parahnya, pengambilan cuti hanya disetujui untuk minimal 3 hari. Lah? Pemaksaan cuti lagi. Jadi, saya harus rela mengambil 2 hari ekstra (yang menurut saya tidak perlu) hanya untuk melengkapi syarat pengajuan cuti. Tidak fair banget kan?
Maka dari itu, sebagai seorang abdi negara (yang ganteng dan rajin), saya dituntut untuk pandai-pandai membagi waktu cuti saya. Pertama, cuti lebaran perlu diamankan. Ini satu alasan bagus untuk 'pasang muka' dengan kerabat. hohoho. Kedua, tahun depan musti rela ambil cuti buat nikahan saudara. Ini juga perlu. Satu alasan cerdas untuk tetap dianggap sebagai saudara yang sayang pada kakak. Halah. Dan ini menurut saya yang penting: cuti untuk ikutan summer course. Dari dulu saya ingin sekali terbang ke Eropa, dan ikut mencicipi sistem pendidikan di sana. Negara yang ingin saya kunjungi untuk ikutan summer course adalah Belanda dan Inggris. Pertama, karena kedua negara tersebut menyediakan beasiswa yang memungkinkan saya ke sana untuk belajar (dan jalan-jalan) gratis. Maklum, sebagai kaum 'proletar' yang bekerja sebagai 'jongos' di dalam kabinet suatu negara, saya dituntut untuk selalu profesional dalam menjalankan tugas saya. Tapi karena uang saya terbatas, maka jalur beasiswa (baca: gratisan) adalah jalur yang sangat ideal untuk diraih. Kedua, negara tersebut ada liga sepakbolanya. Saya ingin nonton sepakbola di klub-klub terkenal Eropa di tempatnya langsung. Ingin sekali.
Maka dari itu, saya hanya berharap, semoga tidak ada aral melintang. Semoga saya tidak (harus) mengambil cuti yang tidak penting. Semoga semua sehat. Semoga pemerintah merevisi cuti untuk pegawai di instansi saya untuk mendapat cuti secara utuh sebanyak 12 hari dalam setahun tanpa harus dikurangi dengan cuti bersama. Semoga ada revisi peraturan yang memperbolehkan pegawai untuk mengambil cuti minimal 1 hari.
Cuti memang hak. Cuti juga merupakan kewajiban. Artinya orang punya hak untuk mengambil cuti dan punya kewajiban untuk mengabil cuti jika cuti tersebut tidak pernah diambil-ambil. Saya suka agak gemes sekali jika ada orang yang (berani-berani) tidak mengambil cuti. Apa tidak bosan coba di kantor terus menghadapi komputer secara terus-menerus sejumlah hari kerja. Kalau pikiran saya sudah sampai pada pemikiran yang menanyakan begini: 'Hey dude, when was the last time you did something for the first time', dan parahnya saya tidak bisa menjawabnya, maka saat itulah saya mempunyai kewajiban untuk mengambil cuti. Itu tandanya otak saya sudah 'buntu'. Dan saya butuh liburan. Saya bukan orang yang gila kerja, tapi kalau kita diberi jatah cuti, kenapa juga tidak diambil, kan sayang. Benar kan?
Dan menurut saya, langkah yang paling bijaksana adalah menabung cuti sebanyak-banyaknya, tidak mengambil cuti jika tidak perlu, dan cuti yang agak lama sekalian untuk refreshing sambil belajar. That's a good idea. ;=)
Gambar dipinjam dari sini.
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
No comments:
Post a Comment