  |  
| Salah satu film favorit saya ;- |  
 
Film Arisan karya Nia 
diNata merupakan salah satu film Indonesia favorit saya. Film ini selain
 jalan ceritanya menarik juga membuka 'mata' saya akan gaya hidup dan 
cara bersosialisasi yang 'lain' di semesta bernama Jakarta. Saat masih 
tinggal di daerah, arisan yang saya kenal adalah arisan-arisan yang 
biasa diikuti oleh ibu saya. Memang sih, walaupun jenisnya juga 
macam-macam tapi tak semewah arisan yang populer di kalangan orang kaya 
ibukota tersebut. 
  
Yang saya tahu sih ada arisan panci, 
arisan Pon, arisan PKK, arisan Dharma Wanita, dan arisan motor. 
Dinamakan arisan panci karena pesertanya berharap untuk mendapatkan 
barang-barang keperluan rumah tangga seperti panci, rantang, wajan, dan 
lain-lain dari arisan tersebut. Arisan Pon dilakukan mengikuti 
kesepakatan hari bayarnya bersamaan dengan hari pasaran. Arisan PKK 
dikenal karena ibu saya eksis menggalang keterampilan ibu-ibu di 
kelurahan. Ibu saya (terpaksa) ikut arisan Dharma Wanita karena beliau 
seorang guru (baca: pegawai negeri). Kalau arisan motor saya tahu dari 
para tetangga yang (tiba-tiba) kaya dan (mendadak) punya motor gara-gara
 ikut arisan, padahal tidak punya sawah. 
  
Tak pernah 
sebelumnya saya mengenal jenis arisan seperti arisan cantik, arisan 
kolektor jam, arisan pecinta kucing, arisan kolektor tas, arisan tujuh 
belas, arisan dua empat, arisan tiga empat, dan arisan perhiasan 
'bling-bling'. Belakangan saya baru tahu ada juga yang namanya arisan 
'cowok'. Gak usah dibahas ah. Tak seperti di desa yang pesertanya cuek 
bebek soal penampilan, arisan di ibukota terbilang 'wah di mana 
pesertanya punya kostum khusus sesuai dengan tema yang ditetapkan. 
  
Intinya,
 arisan merupakan media ibu-ibu untuk bersosialisasi dan sejenak 
melupakan kesibukan rumah tangga. Eh, begitu saya di Jakarta, baru tahu 
kalau arisan ternyata juga diikuti oleh bapak-bapak. Kalau bukan karena 
terkait kerjaan, sebenarnya saya males ikut arisan. Selain ajang untuk 
bersosialisasi, arisan digunakan untuk bertukar informasi, berbagi 
pengalaman, dan tak lupa, pamer sesuatu. Ini yang bikin males. 
  
Saya
 jadi ingat dengan acara reuni-reuni yang saya ikuti di Jakarta. 
Walaupun gak ada arisannya, suasananya mirip sekali dengan suasana 
arisan. Kumpul-kumpul, makan-makan, foto sana-sini, gosipin ini-itu, dan
 pamer ini-itu. Kadang males juga mau ikutan. Paling malesnya justru 
bukan pada bagian bertemu dengan teman lama atau klien-klien baru. Tapi 
lebih pada capeknya menuju dan pulang dari lokasi diadakannya reuni. 
Selain itu, saya juga males kalau ada pesertanya yang suka pamer 
kekayaan baik itu hasil dari uang panas maupun dikumpulkan dari 'uang 
dingin'. 
  
Kadang saya jadi kepikiran untuk mengadakan arisan  turis saat
 reuni atau ngumpul dengan teman di mana pesertanya adalah orang-orang 
yang suka jalan-jalan dan kalau narik, uangnya harus digunakan untuk 
jalan-jalan ke suatu tempat. Pulangnya, peserta tersebut harus membuat 
laporan atau menulis catatan perjalanannya sebagai oleh-oleh dan bekal 
untuk berbagi informasi di acara arisan atau reuni berikutnya. Biar 
ngobrolnya gak melulu pamer kekayaaan, tapi pamer foto (narsis) dan 
segepok pengalaman berharga selama jalan-jalan.  
  
Jadi, 
modelnya seperta nabung dulu, terus begitu narik langsung bisa dipakai 
untuk modal jalan-jalan. Sebenarnya arisan model begini sudah diterapkan
 oleh pengelola-pengelola 'arisan' untuk memberangkatkan peserta umroh 
dan naik haji. Pesertanya kan sebenarnya diharuskan untuk melakukan 
perjalanan jauh dengan biaya yang tidak murah. Makanya pakai arisan dulu
 untuk ngumpulin duitnya. Bisa dicontoh tuh untuk para backpacker, yang mau jalan baik ala gembel atau dengan gaya juragan. 
  
Yang
 menyenangkan dari acara arisan plus reuni adalah ngumpul-ngumpulnya. 
Makan bareng, cerita-cerita lucu, ngomongin orang yang dianggap 
nyebelin, tukar informasi tentang banyak hal seperti siapa sekarang 
gandengan si Anu, tempat makan yang enak dan murah, sale 
barang-barang lucu, dan pertanyaan menyebalkan tentang kapan mau 
menikah. Di acara arisan atau reuni biasanya juga ada yang jualan 
barang-barang dan makanan. Mereka bawa sampel barang untuk ditunjukkan 
ke peserta lain dengan embel-embel 'harga promosi' khusus teman. Eng ing eng.  
  
Biasanya
 saya sih menyempatkan diri untuk datang di acara-acara tersebut. Tidak 
dipungkiri, saya memang butuh bersosialisasi. Kalau pesertanya saya rasa
 happening dan punya pace yang sama dengan saya, wih
 pantang untuk dilewatkan. Tapi, akhir-akhir ini saya agak selektif 
menerima undangan bersosialisasi walaupun dengan embel-embel arisan, 
reuni, kumpul-kumpul, temu kangen, atau apalah itu. Apalagi kalau yang 
ngundang adalah teman lama yang udah jarang ketemu, klien lama yang 
tiba-tiba pengen kerjasama lagi, atau sahabat yang mendadak 
menggebu-gebu kangen pengen ketemu. 
  
Memang sih, awalnya
 acaranya ngobrol-ngobrol tentang pengalaman dan 'kangen-kangenan'. 
Ngajak makan dan memuji keberhasilan pencapaian. Mendengarkan dengan 
sabar obrolan kita yang paling tidak penting sekalipun. Tapi setelah 
agak bosan ngobrol, mulailah inti dari undangan tersebut terkuak: 
nawarin MLM. Ih males. ;-P     | 
Memang ada kalanya orang-orang ikut arisan hanya sekedar tuntutan sosialisasi. Di desa saya, arisan bak kegiatan wajib ibu-ibu. Sekalipun bagi ibu-ibu di tingkat perekonomian bawah yang akan merelakan jatah nasi demi tuntutan sosialisasi.
ReplyDelete:-)