Sesuatu yang dilakukan pertama kali dalam hidup, biasanya mendatangkan perasaan campur aduk. Misalnya, pertama kali saya belajar naik sepeda, dada ini rasanya berdebar-debar, antara bahagia bisa naik sepeda seperti teman-teman dan deg-degan karena takut jatuh dan nabrak pagar tetangga. Pas pertama kali belajar sepeda motor juga seperti itu. Perasaan deg-degannya lebih besar daripada saat belajar naik sepeda. Kali ini karena bahagia akhirnya bisa naik motor sambil mainin klakson sak enak udele dewe dan paling takut kalau simpangan ama mobil.
Perasaan deg-degan karena melakukan sesuatu pertama kali dalam hidup seperti itu muncul lagi saat mau naik pesawat terbang. Sudah lama saya menjadi bulan-bulanan teman-teman karena belum pernah naik pesawat terbang. Kebanyakan teman kuliah saya sudah pernah naik pesawat terbang. Teman-teman kantor saya juga sudah banyak yang sudah. Kedua orang tua dan saudara saya semuanya sudah pernah naik pesawat terbang. Cuma saya yang masih setia naik bus atau kereta api kalau ke mana-mana.
Adalah Ari Subagya, salah satu teman di kantor yang tiba-tiba saja mengajak saya naik pesawat. Dia adalah orang yang nantinya membuat saya jadi ketagihan jalan-jalan walaupun sendirian. Berbekal pengalaman yang sama, dikumpulkanlah 6 orang yang sama-sama belum pernah naik pesawat. Alasannya sederhana: biar tidak saling mengejek gara-gara baru naik pesawat. Halah. Gak penting banget. Setelah itung-itung budget, saya akhirnya mengiyakan ajakan Ari untuk mencoba naik pesawat. Dan tujuan kita pertama kali adalah Pulau Belitong.
Mengapa Pulau Belitong dipilih pertama? Karena film yang lagi happening saat itu adalah Sang Pemimpi, ringtone handphone saya adalah Komidi Putar-nya Bonita (salah satu soundtrack Sang Pemimpi), dan karena salah satu teman kantor kita (namanya Suhaidi) lagi pulang kampung di Belitong sana. Pas kan, jadi gak perlu ada acara-acara nyasar segala jika ada guide penduduk setempat.
Setelah tiket pulang pergi Jakarta-Tanjung Pandan-Jakarta di tangan (saya naik Sriwijaya Air, the one and only pesawat ke Belitong waktu itu), entah bagaimana berita saya mau 'terbang' jadi bocor ke semua orang (aargghh ini yang paling saya benci). Ke mana-mana saya jalan, pertanyaan seperti 'waduh, mau jalan-jalan ya', 'wadew, mau naik pesawat ya', dan pertanyaan sejenis mulai terlontar. Gangguan mulai datang. Yang paling parah 3 hari sebelum berangkat saya sudah mulai gak bisa tidur (lebay.com).
Itu sih belum seberapa. Dua hari sebelum berangkat, mulai tambah lagi parno saya. Ibu-ibu yang hobi gosip mulai membuat 'masalah'. Dengan bijaknya menasihati saya, 'Adie, kamu mau jalan-jalan naik pesawat ya? Udah ijin ama ibumu belum? Ijin dulu dong, kan mau pergi jauh, naik pesawat pula, orang kan gak tau, sekarang cuaca lagi buruk kayak gini. Hujan terus tiap hari, mana petirnya gedhe-gedhe lagi'. Busyet. Kesannya kayak mau mati aja waktu mau naik pesawat. Udah gitu temen-temen lain yang seumuran pada ngledekin lagi 'Adie, udah nulis surat wasiat belum, siapa tau diperlukan'. Hahaha. Sepertinya doanya kok jelek-jelek amat ya.
Akhirnya hari H datang juga. Subuh menjelang dan saya pun berangkat ke bandara. Ternyata sudah ramai sekali, padahal jam 6 pagi belum juga berdentang. Setelah cek tiket akhirnya boarding juga. Dan sebelum masuk pesawat, keluar dong penyakit norak saya. Foto di depan pesawat. Wajib dong hukumnya. Secara ini kan penerbangan pertama saya hehehe.
Setelah di dalam pesawat, apa yang saya lakukan. Berdoa, berdoa, dan berdoa. Dan ini menjadi kebiasaan (wajib) saya saat bepergian naik transportasi apapun. Cuma kalau di pesawat, selain doa sendiri biasanya saya baca buku doa yang tersedia di kursi. Saat komat-kamit sendiri, si Ari dan gerombolannya ketawa cekikikan gara-gara tingkah parno saya. Pesawat tingkat landas dengan mulus dan hati tenang sentosa. Pas kira-kira di atas kepulauan Seribu agak ke utara dikit tiba-tiba saja pesawat goyang-goyang gara-gara nabrak awan. Hadewh. Tangan saya refleks pegangan kursi dan mulut komat-komit kayak dukun. Hahaha. (Si Ari dan kawan-kawan cekikikan lagi di seberang ngliatin saya, kampret bener). Dan setelah beberapa kali acara 'nabrak awan' dan komat-kamit, akhirnya kami mendarat dengan sempurna di Bandara H. AS. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Alhamdulillah.
Seperti juga acara jalan-jalan yang membuat candu, naik pesawat pun bikin saya ketagihan untuk mencoba lagi dan lagi. Sama ritualnya seperti sebelumnya, cuma setelah-setalahnya saya jadi agak tidak parno lagi kalau naik pesawat. Saya sudah mulai mahir booking tiket, jadi rajin searching tiket promo, mulai bisa relaks saat menikmati delay jadwal keberangkatan, mulai relaks saat melihat pramugari-pramugari yang cantik-cantik itu memeragakan alat bantu darurat atau menawarkan suvenir, dan mulai tau momen yang pas kapan harus foto di depan pesawat. Hehehe. Dan paling parah ni, pas penerbangan yang terakhir saya lakukan, saya sudah mulai berani main kartu di dalam pesawat di ketinggian 36.000 kaki. (Gimana mainnya coba? I just knew it ;=P )
Ah, ngomongin naik pesawat, saya jadi ingin sekali naik Airbusnya Garuda Indonesia. Kapan ya kira-kira? ;=)
Memorabilia Maria
-
.: Tengara *Maria* 🍁🌿 :.
Saat masih SD, saya mengenal sosok *Bunda Maria* hanya dari figur yang
terdapat di altar dalam rumah kawan saya yang *Katolik*...
4 years ago
No comments:
Post a Comment