Sunday, June 13, 2010

Episode #16: Senioritas

Agak sensitif untuk diungkapkan, tapi penting untuk ditulis. Hah, senioritas? hare geneh? Benar. Topik ini saya rasa hangat di mana-mana, mulai di sekolahan, di kampus, dan di kantor. Di sekolahan dan di kampus mungkin sudah agak basi dibahas, secara tahun ajaran baru berarti ada murid atau mahasiswa baru. Sang kakak kelas mulai pongah dan jadi agak sok bertingkah kepada mereka-mereka yang disebut newbe.

Yang paling menarik justru di kantor. Sejak saya masih sekolah, saya selalu mempunyai pemikiran bahwa yang layak saya sebut senior adalah mereka-mereka yang menunjukkan sikap profesional, bertanggung jawab, menguasai bidangnya, dan 'jantan' dalam mengakui kekhilafannya. Setidaknya itu yang selalu ada dalam pemikiran saya. Namun, jauh di lubuk hati saya, sebenarnya sistem tersebut jauh sekali dengan saya, artinya jika memungkinkan sistem tersebut tidak perlu disebut, saya akan dengan senang hati untuk bungkam. Paham kan? Saya benci dengan istilah itu. Apakah tidak lebih mudah menyetarakan sesuatu, membuat semuanya seimbang dan serba sederhana. Tapi, saya selalu menyadarinya. Aneka celupan manusia pasti berupa-rupa sifat dan perilakunya. Dan paling menyebalkan dari suatu hari jika bertemu dengan orang yang sok dan berlagak punya kuasa.

Jika berada dalam suatu tingkatan, misalnya bos, mungkin saya masih mempunyai toleransi, karena bagaimanapun juga bos is BOS. Mereka pun saya kira layak untuk berlaku demikian walaupun kesemena-menaan juga selalu saya tentang dalam praktiknya. Tapi jika sama-sama masih 'jongos' tapi udah pongah, saya mending adu mulut. Bagi saya, orang yang sok sak enak udele dewe harus segera 'diingatkan' dari sifat kesombongannya itu.

Sekarang kalau dipikir, apa coba untungnya? Paling banter juga tambah malas saja. Ayo kita pilah. Orang yang sok biasanya tidak mau kerja berat. Kerjaan inginnya yang mudah, ringan, dan sederhana. Sudah gitu, pengennya digaji yang tinggi. Nyuruh sana, nyuruh sini sekehendak hati. Coba dipikir agak tenang. Kalau minim kerja, maunya nyuruh sana-sini, maunya jalan-jalan sekehendak hatinya, berarti kan tidak produktif kerjanya. Orang yang tidak produktif (biasanya) cenderung punya pemikiran yang pendek, analisis masalah yang lemah, dan sering mengambil jalan pintas yang seringkali tidak menguntungkan banyak pihak.

Saya kadang sering kasihan melihat jenis orang seperti ini. Tapi, saya juga berusaha agar orang-orang tipe seperti itu jauh dari pekerjaan yang mengusung kekuasaan dan mengandung kepentingan orang banyak. Coba bayangkan lagi, bagaimana jadinya jika kekuasaan diamanatkan pada orang yang salah. Saya kadang sering beranalisis sendiri jika siapa dikasih wewenang apa dan efeknya seperti apa?

Main-main pemikiran seperti itu kadang membuat saya paranoid juga. Tapi mempertimbangkan seseorang untuk menduduki jabatan apa dan melakukan tugas apa, biasanya kerap saya lakukan sebagai salah satu bahan masukan positif kepada atasan agar suatu tugas (yang banyaknya minta ampun itu) bisa merata dan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya tanpa ada bentuk penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kesenjangan. Soalnya, saya agak khawatir jika dalam pembagian tugas tersebut, kepala atau bos kita yang tidak menguasai karakteristik semua anak buahnya mendapat masukan dari orang yang sok itu. Saya pikir, masukan dari seseorang yang notabene merasa senior, merasa berkuasa, merasa harus mendapat perhatian lebih itu sangat tendensif. Sudah tidak murni lagi berupa usulan untuk membuat bagaimana setiap orang mendapat tugas dan mampu bekerja dengan nyaman sesuai dengan kemampuan. Jika pembagian tugas tersebut jatuh ke tangan orang yang pandai mencari muka, saya yakin, kebobrokan suatu tugas tinggal menunggu gongnya dipukul.

Saya menulis ini sebenarnya bukan karena ada suatu sentimen tertentu pada seseorang. Dari awal niatan saya bekerja adalah mencari makan demi menyambung hidup. Saya percaya bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, tapi jika ada tangan-tangan jahil yang berusaha tidak fair dan tidak profesional dalam bekerja, baik dengan bermuka dua atau melakukan tindakan lain terselubung yang berpotensi untuk memengaruhi 'asap dapur' saya, maka saya akan mengambil tindakan untuk meluruskan apa-apa yang tidak lurus dan membenarkan apa yang selama ini kurang benar. Saya menghormati hak setiap orang. Baik itu orang tua atau masih muda, baik itu pegawai lama atau pegawai baru, selama dia menghormati saya dan bersikap wajar, maka saya akan berlaku juga seperti itu. Namun, jika ada pegawai lama yang soknya minta ampun atau pegawai baru yang pongahnya sak enak udele dewe, maka adu argumen pun akan saya lakukan. Tapi, untuk yang terakhir saya terus berharap tidak kejadian.

Jadi, senioritas dalam arti positif masih bisa diterima. Contohnya soal kepangkatan atau kedudukan yang diperoleh karena masa kerja atau sekolah yang tinggi. Tapi, soal senioritas yang menonjolkan hanya kuasa saja, musti segera dibuat penyesuaiannya. Intinya, saya hanya mengakui seseorang itu senior kalau dia sudah menunjukkan kematangan emosi, tingkat profesionalitas yang lebih baik dari saya, tidak pasang muka palsu, tidak membuat 'jalur lain' demi mencari perhatian atasan, dan tidak berusaha menghalalkan segala cara untuk mencapai prestasi, sekalipun dia lebih muda dari saya dan sekalipun dia adalah pegawai baru alias newbe. Selain itu, gak janji deh. ;=)

Gambar dipinjam dari sini.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...