Travel books from female traveler |
Memperingati Hari Kartini seperti hari ini sepertinya sudah terlalu klise jika membahas mengenai emansipasi perempuan ditinjau dari kisah bagaimana seorang Kartini memperjuangkan hak-hak kaum hawa. Pun juga sudah sangat biasa jika saya membahas mengenai bagaimana di setiap tempat Hari Kartini diperingati sebagai hari berkebaya yang menurut saya justru dipertanyakan mengapa Kartini selalu diidentikkan dengan kebaya. Sepertinya, menjadi 'perempuan' Indonesia yang modern dan berpikiran maju seolah terdistorsi dengan keharusan untuk selalu berpenampilan ala Kartini di masa lalu.
Karena senang dengan dunia kreatif tulis-menulis, mau tak mau saya selalu 'terusik' dengan fenomena munculnya penulis-penulis perempuan dalam ranah sastra Indonesia pada dasawarsa terakhir. Dalam karya-karya mereka terdapat semacam pendobrakan terhadap kelaziman yang terjadi dalam masyarakat. Kelaziman ini bisa berarti memang 'benar' adanya, atau juga suatu hal itu memang 'salah' namun didiamkan dalam jangka waktu yang lama sehingga dianggap menjadi benar. Hal-hal yang dulunya dianggap tabu dan 'putih' mulai juga dipertanyakan eksistensinya melalui pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tak jarang menuntut para pembaca untuk juga ikut andil mempertanyakan fenomena kehidupan tersebut.
Di lain pihak, dunia perbukuan di Indonesia saat ini juga diwarnai dengan semaraknya penerbitan buku-buku traveling. Jalan-jalan atau tamasya sepertinya sudah mulai menjadi sebuah gaya hidup bagi sebagaian orang di dunia, termasuk juga di Indonesia. Ketika saya bertandang ke toko buku dan berada di rak buku-buku traveling, saya juga mendapati fenomena bahwa kebanyakan dari buku-buku traveling tersebut ditulis oleh perempuan. Apakah ini juga membuktikan bahwa jumlah traveler perempuan lebih banyak daripada traveler laki-laki?
Saya pikir tidak juga. Pernah dalam suatu kesempatan, saat saya mengikuti workshop penulisan kisah perjalanan, ada seorang panelis perempuan yang berkata bahwa 'mengapa banyak sekali traveler perempuan daripada traveler laki-laki adalah hanya karena perempuan lebih 'tidak punya tanggungan' daripada laki-laki. Idealnya kalau laki-laki (yang kelak menjadi suami atau kepala rumah tangga) lebih punya tanggung jawab untuk menghidupi perempuan (yang menjadi istrinya). Sehingga laki-laki (sepertinya) harus punya persiapan yang lebih baik, persediaan tabungan yang lebih banyak, dan kemampuan 'menanggung' yang lebih baik daripada seorang perempuan. Seorang laki-laki punya 'beban' yang sedikit lebih berat jika dibanding perempuan, sehingga urusan traveling atau liburan menjadi urusan ke sekian dan bukan menjadi prioritas atau gaya hidup.
Sebenarnya pandangan ini saya juga kurang setuju. Jumlah traveler laki-laki banyak juga. Cuma, menurut saya, jumlah laki-laki (traveler) yang rajin menulis kisah perjalanannya itu yang jumlahnya (mungkin) lebih sedikit daripada traveler perempuan sehingga kesannya banyak sekali traveler perempuan atau malah acara jalan-jalan didominasi oleh kaum hawa. Tengok saja rak buku-buku travel yang ada di toko-toko buku. Hampir 80% didominasi oleh penulis (traveler) perempuan. Sepertinya, mereka lebih telaten untuk menghitung, mempersiapkan dengan matang, dan menceritakan detail-detail suatu kejadian atau peristiwa yang dialami selama traveling. Mereka menulis dengan rinci tentang akomodasi, baik tiket bus, pesawat, kereta api, hotel hostel, tarif karcis masuk museum, yang jelas sangat jarang bagi seorang laki-laki untuk mengurusinya.
Masih hidup to tulisannya?nice..... he he
ReplyDeleteAku rasa Travelingmu kan udah banyak tuh, Why don't you give a shot to them with a Book...?I Wait for that moment
hei Rio, draft bukuku udah nyampai halaman 100. dari sekitar 200-an halaman yang akan ditulis baru dapet 50%nya. berharap semoga cepat selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama. terima kasih lo dukungannya selama ini ;=)
ReplyDeletehm,,,,,jadi pengen bisa nulis dengan baik dah....ditunggu bang kritik dan sarannya tulisan2 ane....
ReplyDeletewah bagus banget bang,,, ditunggu kelanjutannya
ReplyDelete